Prolog

10K 1.1K 46
                                    

Ponorogo, 2020.

Diam-diam aku menyelinap keluar dari kamar, mataku menelisik area sekitar, berusaha memastikan bahwa tak ada satu pun dayang atau anggota keluarga yang berada di dekat kamarku.

Aman, dengan hati-hati aku berjalan menuju pintu keraton, perasaan waswas membuatku berdebar-debar. Aku melangkah dengan sangat pelan agar tidak membuat suara yang dapat menarik perhatian orang-orang. Namun, baru sepuluh langkah aku berjalan dari kamarku, suara seorang dayang membuat langkahku terhenti.

"Gusti Sekarajasapita mau ke mana?" ucap dayang tersebut kepadaku.

Sial, aku tertangkap basah!

"Mau ke taman belakang keraton, di kamarku panas," jawabku berbohong seraya memasang ekspresi wajah yang meyakinkan.

"Oh, tapi di luar juga panas, Gusti." Dayang itu membalas ucapanku. Aku mengangguk, tentu aku tahu kalau di luar panas. Ini siang hari, matahari sedang bersinar terik-teriknya!

"Gak apa-apa, sekalian aku mau lihat bunga."

Sang dayang mengangguk, kemudian memohon izin undur diri karena ia harus kembali mengurus adikku. Ini kesempatan emas! Aku langsung berjalan dengan langkah cepat menuju pintu keraton. Beberapa abdi dalem berjaga di pintu, aku langsung mengubah cara berjalanku menjadi pelan dan penuh keanggunan. Kusunggingkan senyum manisku, bermaksud menyapa mereka. Senyumku pun dibalas dengan sebuah bungkukan hormat oleh mereka.

Aku terus melangkah sampai aku berhasil mencapai gerbang keraton. Ada seorang abdi dalem yang berjaga di sana, aku pun berkata pada beliau, "Tolong buka gerbangnya. Saya mau keluar."

Abdi dalem tersebut mengangguk, lalu membukakan gerbang keraton untukku, tetapi dari pintu keraton terdengar suara teriakan Kangmas Panji, kakak sulungku. "Rajni! Mau ke mana?"

Ah! Kenapa Kangmas harus melihatku sekarang sih? "Mau ke luar, nanti aku pulang, Kangmas."

"Oh, begitu. Perlu ditemani atau tidak?"

"Aku bisa sendiri, Kangmas." Aku menggelengkan kepala, memberi tanda bahwa aku bisa berjalan sendiri tanpa perlu iring-iringan atau kawalan dari para abdi dalem.

"Ya sudah, hati-hati!" teriaknya sembari melambaikan tangan kepadaku. Aku pun membalas lambaian tangannya.

Secepat kilat aku berlari menjauh dari wilayah keraton, aku menarik jarik yang aku gunakan hingga betisku dapat terlihat dengan jelas. Ah, persetan dengan hal itu, toh tak ada satu pun orang di sini, tentu tak ada yang melihatnya. Di persimpangan jalan, seorang remaja laki-laki sudah menungguku di atas motornya. Ia adalah Nebula, teman sekolahku yang kini tengah menjelma sebagai pahlawan untukku.

"Aduh aduuh, putri keraton kok lari-lari begini," ledeknya saat aku sudah berada di sampingnya.

"Diam, ih! Ayo cepat nyalakan motornya, aku takut ada yang sadar kalau aku kabur." Aku membalas ucapannya sambil menaiki motor sport-nya.

Nebula tak menjawab ucapanku, ia langsung mengemudikan motornya dengan kecepatan rata-rata menuju taman tempat kami biasa bermain. Sesampainya di taman, aku langsung turun dari motor dan mendudukkan diri di sebuah batu besar yang terletak di bawah pohon rindang. Nebula memarkirkan motornya dan ikut duduk di sebelahku.

"Kamu kabur lagi dari kelas bahasa Jawa Kuno?" tanya Nebula yang aku jawab dengan anggukan.

"Ya ampun, Rajni! Jangan terlalu sering kabur, belajar bahasa Jawa Kuno kan kewajibanmu sebagai putri keraton," sambungnya.

Harus kuakui bahwa ucapan Nebula seutuhnya adalah benar. Mempelajari bahasa Jawa Kuno merupakan salah satu kewajibanku sebagai putri keraton. Mungkin sedari tadi kalian bertanya-tanya, sebenarnya aku ini siapa? Sekarang, izinkan aku untuk memperkenalkan diri.

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now