15. Amarah Tanpa Hak

3K 678 133
                                    

Kicauan burung menyambut datangnya hari baru. Dinginnya udara pagi yang menusuk kulitku tak melunturkan semangatku untuk beraktivitas pagi ini. Aku mulai terbiasa dengan kehidupanku di sini. Sudah berapa lama ya aku terjebak di Tumapel?

"Kamu bangun pagi banget, Raj," ucap Kangmas Panji yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengucek sebelah matanya dan menguap, mungkin kesadarannya belum terkumpul penuh.

"Bukan aku yang bangun kepagian, tapi Kangmas yang bangun kesiangan," balasku sambil terkekeh. 

Kemarin Mahesa Cempaka bilang kalau ia ingin mengajakku ke rumah Bena. Terhitung sudah dua minggu pasca kejadian perang malam itu. Kini aku, Bena, dan Mahesa Cempaka menjadi teman dekat. Awalnya kami sering berinteraksi karena hampir tiap sore aku meminta Mahesa Cempaka untuk menemaniku pergi ke kebun bunga Bena, dari situ kami jadi akrab dan rajin bertukar cerita. 

Jangan bertanya apakah Ranggawuni ikut bergabung dengan kami atau tidak, jawabannya tentu sudah sangat jelas. Ranggawuni lebih senang bertualang bersama dengan Kangmas Panji menyusuri wilayah Tumapel. 

Melihatku yang terduduk manis di pekarangan rumah, kangmas ikut mendudukkan dirinya di sebelahku. "Hari ini mau ke rumah Bena lagi? Sama Mahesa Cempaka juga?"

Aku mengangguk dengan penuh semangat. "Iya! Katanya Mahesa Cempaka mau mengajariku resep masakan."

"Bagus, biar kamu makin jago masaknya! Terus nanti kamu bisa masakin Kangmas setiap hari deh."

Perkataannya hanya kubalas dengan tatapan jengkel. Tak lama kemudian, sosok Mahesa Cempaka sudah tiba di rumah Panji Patipati. Oh iya, sepertinya aku belum menceritakan tentang hal ini kepada kalian. Sejak kejadian malam itu, Mahesa Cempaka memutuskan untuk tinggal di istana bersama keluarganya. Sementara itu, Ranggawuni memilih untuk tetap tinggal di rumah Panji Patipati sampai ia dinobatkan sebagai maharaja nanti.

Mahesa Cempaka tersenyum hangat, menyapaku dan kangmas dengan lambaian tangannya. Aku dapat melihat ia membawa sesuatu di tangannya, tetapi aku tidak tahu apa isinya. 

"Maaf karena membuatmu menunggu, Rajni," katanya setibanya ia di hadapanku, "ayo kita ke rumah Bena! Panji, aku izin mengajak adikmu pergi dahulu, ya!"

"Tidak aku izinkan," jawab kangmas. Mahesa Cempaka dan aku langsung menatap Kangmas Panji bersamaan. "Tidak diizinkan jika kalian tidak membawakan makanan untukku juga," sambungnya.

Dasar Kangmas Panji, pikirannya selalu saja tentang makanan!

Kangmas Panji tertawa terbahak-bahak usai berkata demikian, sedangkan aku dan Mahesa Cempaka memasang raut wajah datar kami. Malas sekali rasanya meladeni kangmas kalau sudah begini.

Sesudah meminta izin kepada kangmas, kami pun berangkat ke rumah Bena. Di halaman rumahnya sang pemilik rumah sudah bersiap untuk menyambut kami. Tak ingin berlama-lama, kami langsung menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak.

"Hari ini kita akan memasak rawon!" Mahesa Cempaka akhirnya membeberkan menu yang akan kami masak. 

Rawon, ya? Seketika aku jadi teringat dengan Ranggawuni. Kata Jayawardhani, rawon adalah makanan kesukaan Ranggawuni. Mungkin aku bisa belajar cara membuat dari Mahesa Cempaka. Jadi, jika sewaktu-waktu Ranggawuni menginginkannya, aku bisa memasakkan rawon untuknya—tunggu, untuk apa aku memasakannya rawon? Memangnya dia siapa?

Lagi-lagi aku memikirkannya, padahal beberapa hari ini aku sengaja menyibukkan diri agar tidak teringat dengan Ranggawuni. Sejujurnya aku tidak tahu kenapa aku jadi memikirkannya melulu, tetapi mungkin sikapnya beberapa waktu kebelakang adalah jawabannya.

Ya, walaupun aku menjauhinya, Ranggawuni tetap bersikap aneh kepadaku. Kenapa aku bilang ia bersikap aneh? Alasannya adalah karena sikapnya seringkali berubah-ubah dan sulit dipahami. Aku tidak bisa mengatakan bahwa ia seratus persen bersikap menyebalkan seperti dahulu karena kini ia terkadang bersikap manis di luar dugaanku, hal itu membuatku pusing dibuatnya!

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now