29. Rupanya, Mirip

2.6K 581 185
                                    

Selama menginap di rumah Paman Guntur, aku dan Kangmas Panji hanya sekali berjumpa dengan Julius. Pertemuan pertama kami malam itu adalah satu-satunya. Oleh karena itu, nanti siang sebelum kami kembali ke Ponorogo, aku ingin menemuinya kembali untuk berpamitan. Cukup bagiku pergi meninggalkannya tanpa pamit ketika di Tumapel, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama lagi.

"Upaya penyelamatan harusnya bisa dipercepat karena keberadaan situs saat ini juga terancam oleh pembangunan perumahan di wilayah tersebut," ujar romo kepada Paman Guntur. Kemarin mereka kembali pergi ke kantor kelurahan dan bertemu dengan beberapa anggota komunitas telusur sejarah di Malang. Mereka membicarakan perihal penemuan di Situs Kumitir dan situs-situs lainnya yang baru ditemukan di Malang Raya.

"Ya, benar. Tetapi kenyataannya kita kekurangan dana untuk melakukan upaya penyelamatan terhadap situs-situs tersebut," sahut Paman Guntur, "sebagian dari mereka berpikir bahwa melakukan penyelamatan terhadap peninggalan sejarah adalah hal yang sia-sia."

Romo mengangguk setuju dengan Paman Guntur. "Mereka pikir situs sejarah hanyalah sekadar benda mati peninggalan masa lalu, padahal melalui situs-situs itu kita bisa mengetahui sisi lain dari kehidupan manusia yang pernah berlangsung di muka bumi ini."

"Aku berani bertaruh, tak banyak generasi muda yang mengenal tokoh-tokoh sejarah bangsa ini," sambung romo sembari melirik ke arahku dan kangmas, "Panji dan Rajni, apakah kalian mengenal tokoh-tokoh sejarah yang ada di Indonesia?"

Kangmas Panji mengerutkan dahi, berpikir sejenak sebelum memberikan jawabannya kepada romo. "Aku tahu beberapa."

Romo tersenyum mendengar jawaban kangmas, beliau kemudian mengalihkan perhatiannya kepadaku, menungguku untuk memberikannya jawabannya.

"Hmm, aku tahu sih, tapi gak semuanya," jawabku ragu-ragu sebelum meneguk air minum, mulutku terasa kering karena belum minum setelah menyantap sarapan pagi ini.

"Coba sebutkan tokoh sejarah yang kamu ketahui, Rajni," pinta Paman Guntur yang seketika membuat jantungku berdebar-debar.

Sesaat aku memikirkan siapa saja tokoh yang dapat aku sebutkan hingga terbesit beberapa nama di kepalaku. "Ranggawuni dan Mahesa Cempaka."

Jawabanku mengundang tawa Kangmas Panji, kangmas tergelak sangat kencang. Sementara itu, romo dan Paman Guntur bertepuk tangan, tak menyangka bahwa aku akan menyebutkan dua nama itu sebagai jawaban.

"Awalnya romo pikir kamu akan menyebut nama proklamator Indonesia, tetapi ternyata kamu menyebutkan nama tokoh dari Kerajaan Singhasari," kekeh romo.

Usai sarapan bersama, aku hanya berdiam diri di kamar seraya memainkan ponselku, menunggu datangnya siang agar aku dan Kangmas Panji dapat berpamitan kepada Julius. Dari luar kamar, pintu diketuk, suara Kangmas Panji yang memanggil-manggil namaku pun terdengar. Ia bertanya apakah ia boleh masuk atau tidak, aku pun menyuruhnya untuk masuk.

Kangmas Panji menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku mengerti, lalu kangmas tertawa pelan. Ia ikut duduk di ranjangku dan mengamatiku yang tengah memainkan ponsel.

"Ada kabar lagi dari Nebula?" tanyanya sambil melirik sekilas ponselku.

"Hush! Jangan ngintip-ngintip!" sungutku, "katanya sih Nebula udah sadar, tapi dia gak mau diajak bicara. Oh iya, nanti kalau sudah tiba di Ponorogo, aku mau langsung ke tempat Nebula, ya!"

"Istirahat dulu, Rajni," balas Kangmas Panji seraya mengacak-acak rambutku.

Kami pun mengobrol bersama, mengingat-ingat kembali hal yang telah aku dan Kangmas Panji lalui bersama saat di Tumapel. "Padahal kalau menurut hitungan waktu di Tumapel, kita tinggal di sana selama berbulan-bulan, tetapi sebenarnya kita terjebak di Tumapel hanya beberapa menit," ucap kangmas.

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang