24. Amarah Narasinghamurti

2.3K 564 82
                                    

Kicauan sepasang burung prenjak di halaman rumah menjelang terbenamnya matahari merupakan pertanda akan kehadiran seseorang. Konon menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kalau ada sepasang burung prenjak berkicau di utara rumah tandanya akan ada tamu agung dari kerajaan yang datang.

Benar saja, pasca matahari telah bertukar peran dengan sang rembulan, Ranggawuni diam-diam datang untuk menemuiku. Ia memakai jubah besar untuk menutupi tubuh dan wajahnya. Namun, aku masih dapat mengenalinya.

"Rajni ... bisakah kita bicara sebentar?" katanya seraya melepaskan jubahnya, "aku ingin membicarakan banyak hal denganmu."

Aku mengangguk, kemudian mempersilakannya untuk masuk ke dalam rumah. Panji Patipati sempat terkejut melihat keberadaan Ranggawuni, tetapi ia tetap mengizinkan laki-laki itu untuk bertamu di rumahnya. Tanpa sengaja tatapan mataku dan Ranggawuni berpapasan, jantungku berdegup cepat dibuatnya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyaku membuka obrolan.

Ranggawuni tidak langsung menjawab, ia menatapku dan menghela napasnya. "Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"

Kupikir ia akan langsung membicarakan maksud dan tujuannya datang ke sini, tetapi ternyata ia lebih memilih untuk berbasa-basi sejenak. "Seperti yang bisa kau lihat, tak begitu buruk. Kalau kamu?"

"Aku ... sejujurnya aku tidak merasa baik-baik saja." Ia berdeham, lalu melanjutkan ucapannya, "pikiranku sering kacau, aku tak dapat berpikir jernih."

Ah, ia pasti stres karena sebentar lagi adalah hari penobatannya. "Kau pasti tertekan, ya? Tidak apa-apa, Ranggawuni. Aku yakin kau bisa menjadi maharaja yang hebat!"

"Bukan itu yang membuat pikiranku kacau," balasnya sambil menggeleng.

"Lalu?"

"Pikiranku kacau karena memikirkan hubungan kita, Rajni."

Skakmat! Ranggawuni baru saja mengutarakan isi pikirannya dengan lantang. Aku menelan ludahku, kata-kata apa yang cocok untuk menjawab perkataannya? Sejenak kami terjebak dalam keheningan sampai Ranggawuni menyambung kalimatnya, "Rajni, apakah kamu serius dengan hubungan kita?"

Kenapa rasanya seperti hubungan kami tengah berada di ambang kehancuran? Walau memang faktanya begitu, tetapi pertanyaan Ranggawuni membuat keadaan terasa jauh lebih mencekik.

"Aku serius, Ranggawuni. Hanya saja ...." Aku tak sanggup melanjutkannya, tak mungkin aku mengatakan kepadanya bahwa aku dan Kangmas Panji akan segera kembali ke masa depan, kan? Tidak ada satupun orang yang tahu tentang asal-usul kami. Jika aku mengatakannya kepada Ranggawuni, ia pasti akan menganggap ini sebagai lelucon belaka.

"Hanya saja apa, Rajni? Kau meragukan cintaku?" tanyanya dengan nada sendu, "apa yang harus kulakukan agar kau tidak lagi meragu kepadaku?"

"Aku tidak meragukan apapun darimu, Ranggawuni. Berhentilah membuat spekulasi seperti itu." Ranggawuni menghela napasnya setelah mendengar jawabanku. Namun, ia kemudian tersenyum dan meraih tanganku, menyematkan jemarinya dengan jemariku dan menyatukannya.

Ranggawuni mengeratkan tangannya, membiarkan perasaan kami tersalurkan melalui genggaman tangan ini. Jantungku semakin berdebar-debar ketika Ranggawuni mendekatkan wajahnya dengan wajahku, mempertipis jarak di antara kami. Saking dekatnya, aku bisa merasakan deru napasnya. Kami berpandangan, menatap satu sama lain dengan tatapan dengan artian yang berbeda. Aku tak sanggup berlama-lama menatapnya. Oleh sebab itu, aku memejamkan mataku.

Hidung kami bersentuhan. Dengan mata yang menutup, Ranggawuni menggerak-gerakan hidungnya, membuatku merasa kegelian. Kami tertawa, lalu aku membuka mataku dan memandangi ukiran wajah Ranggawuni. Tangan Ranggawuni bergerak menyentuh leherku, memberikan sentuhan sensual yang berhasil menaikkan gairahku.

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang