10. Sebelum Malam Datang

3.2K 662 128
                                    

Tidak ada yang salah dengan bangun terlalu pagi, hanya saja aku merutuki diriku sendiri karena terbangun lebih awal. Baru saja aku hendak keluar kamar, wajah Ranggawuni menjadi pemandangan pertama yang aku lihat.

Ia menatapku sekilas sembari menutup pintu kamarnya, kemudian berjalan ke arah dapur. Mungkin ia ingin memasak sarapan atau mengambil minum.

"Rajni, bisakah kau membantuku?" ucap Ranggawuni dari dapur, "kau tidak mungkin bangun sepagi ini hanya untuk berdiam diri di depan pintu seperti itu, kan?"

Mendengar ucapannya membuatku menghela napas. Aku mengangguk dan menurutinya. Ranggawuni mengeluarkan beberapa bumbu dapur seperti jahe, kemiri, kencur, dan lainnya, lalu mengambil tiga buah gelas bambu. Ia mengisi teko dengan air dan merebusnya di atas tungku.

"Apa yang akan kau buat, Ranggawuni? Dan kenapa kau mengambil tiga gelas?" tanyaku sembari mengamatinya.

"Serbat, aku mau membuat serbat. Aku akan membuatnya untukku, untukmu, dan Mahesa Cempaka."

Aku pernah mendengar serbat, kalau tidak salah serbat adalah nama minuman. Namun, aku sedikit ragu dengan ingatanku. Jadi, aku bertanya lagi, "Serbat itu apa?"

"Duh, kau ini berasal dari dunia yang berbeda, ya? Masa kau tidak tahu serbat?" balasnya sambil berdecak dan bertolak pinggang, "serbat itu minuman dari rempah, seperti jamu."

Oh iya! Berarti ingatanku tentang serbat tidak salah! Air yang direbus Ranggawuni telah mendidih, dengan segera ia mematikan api di tungku dan mengangkat teko tersebut. Tetapi, setelahnya ia terdiam dan menggelengkan kepalanya.

"Kenapa?" Aku bertanya karena bingung melihatnya bertingkah demikian.

"Kembalilah ke kamarmu, aku tidak jadi membuat serbat," jawabnya yang membuatku mendelik. Ranggawuni ada masalah apa sih? Kenapa labil sekali?

Tak mau berdebat dengannya, aku pun melangkah kembali ke kamar dan menemukan Jayawardhani yang masih tertidur pulas di atas ranjang. Kalau kalian bertanya tentang perkataan Jayawardhani semalam, aku tidak mengacuhkannya.

Ya, aku berpura-pura tidur ketika Jayawardhani menyuruhku untuk tidak terlalu dekat dengan Ranggawuni. Aku tidak ingin berkonflik dengan siapa pun di sini, termasuk Jayawardhani. Akan lebih baik kalau aku berpura-pura tidur dan tidak mendengarnya daripada menanggapi ucapannya.

"Rajni? Kau bangun pagi sekali," kata Jayawardhani dengan suara serak khas bangun tidur.

Dengan sedikit senyuman, aku mengangguk. "Iya, aku terbangun lebih awal hari ini."

Jayawardhani sepertinya hendak melanjutkan percakapan kami, tetapi belum sempat ia berkata, suara Mahesa Cempaka yang berteriak dari luar rumah berhasil mengambil atensi kami semua. Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan apa yang terjadi, Kangmas Panji dan Panji Patipati yang semula sedang tertidur pun sepertinya ikut terbangun karena teriakan Mahesa Cempaka.

"Ada mata-mata Paman Tohjoyo di sisi tenggara sawah! Kita dijebak!" teriak Mahesa Cempaka seraya membanting pintu rumah Panji Patipati.

"Berapa orang?" Ranggawuni mengusap wajahnya kasar, kemudian kembali melanjutkan kalimatnya, "Pantas saja perasaanku tidak enak sedari tadi, rupanya kita sedang dimata-matai."

Ya Tuhan, matahari bahkan belum menerbitkan diri sepenuhnya, tetapi pagi ini sudah ada saja kejadian yang mendebarkan! Kangmas Panji langsung mendekat kepadaku dan berbisik, ia mengajakku sedikit menjauh dari mereka untuk membicarakan sesuatu.

"Ini ada apa sih, Raj? Kangmas baru bangun tahu-tahu Mahesa Cempaka sudah berteriak-teriak," katanya bertanya padaku.

Sembari bergidik tak tahu, aku membalas, "Aku juga gak paham, Mas. Yang jelas keadaan saat ini sedang gak aman."

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now