32. Kamu Melupakannya

2.6K 541 181
                                    

"Aku sengaja karena ingin tahu namamu duluan, hehehe. Namaku Reno Bramantyo, panggil aja Reno," katanya yang diiringi oleh kekehan.

Reno? Aku merasa familiar dengan nama itu. Bukankah itu nama temannya Julius dan Dwi? Ah, aku juga baru ingat kalau dahulu aku pernah melihat seseorang berwajah mirip Ranggawuni tengah mengendarai motor menuju belokan dekat rumah Julius!

"Kamu temannya Julius?" tanyaku to the point.

Yang kutanya terkejut bukan main, rautnya menunjukkan tanda tanya. "Kamu kenal Julius?"

"Aku juga kenal Dwi," balasku setengah tertawa, "ternyata takdir selucu ini."

"Tunggu ... kok ... kamu ... bisa ... kenal ... mereka?" Ia membalas ucapanku terputus-putus, dengan ekspresinya yang konyol saat ini, aku bisa menebak bahwa ia sangat kebingungan tatkala aku mengatakan kalau aku mengenal teman-temannya.

Dua detik kemudian, Reno menjentikkan jarinya. Ia membulatkan mulutnya, wajah kebingungannya berubah menjadi cengiran. "Aha! Aku tahu! Kamu temannya Julius yang dari Probolinggo, ya?"

"Bukan!" Sekarang malah aku yang bingung. Kenapa ia mengira aku berasal dari Probolinggo? Hei, walaupun Ponorogo dan Probolinggo masih berada di Jawa Timur, kedua tempat itu adalah tempat yang berbeda! "Kata siapa aku dari Probolinggo?"

"Loh? Bukan toh? Kukira kamu temannya Julius. Dulu seingatku saat aku dan Dwi main ke rumah Julius, katanya ada tamu yang sempat mampir ke rumahnya. Kalau aku gak salah ingat, namanya sama seperti namamu," jawabnya dengan tangan yang menyentuh dagu, "terus kamu kenal sama mereka dari mana kalau kamu bukan temannya Julius?"

"Kenapa kamu mengira aku temannya Julius?" 

"Karena orang pertama yang kamu sebutkan saat bertanya kepadaku tadi adalah Julius, bukan Dwi. Jadi, aku asumsikan kalau kamu adalah temannya Julius yang juga mengenalku dan Dwi." Sungguh, Reno sangatlah cerdik seperti Ranggawuni.

Desahan nafasku terdengar, sepertinya Reno salah mengingat tempat asalku. "Aku bukan dari Probolinggo, tapi dari Ponorogo."

"Oh! Iya, Ponorogo! Maaf ya, aku lupa."

Kami tertawa dan melanjutkan obrolan kami sembari berjalan kembali menuju meja makan, Rina nampak kesal melihatku dan Reno yang asyik mengobrol. Aku menelan ludahku, sepertinya aku baru saja membuat masalah dengan teman baruku ini.

Reno duduk di sebelah Rina, tepat berhadapan denganku. Di tangan kirinya, Reno memakai sebuah jam tangan berwarna hitam yang membuat tangannya terlihat sangat indah di mataku. Sejujurnya aku sudah tidak tahan ingin segera menelepon Kangmas Panji dan menceritakan pertemuanku dengan Rina dan Reno kepadanya, tetapi aku akan menunggu hingga kami kembali ke asrama.

"Sudah selesai makannya? Kita ke asrama yuk," ajak Reno seraya bangkit dari tempat duduknya. Sementara itu, Rina hanya diam dan memasang raut kesalnya. Aku jadi waswas, takut jikalau ia menjadi badmood karena melihatku mengobrol dengan Reno.

Dan di sinilah kami sekarang, berada di depan pintu asrama. Rina langsung menyelonong ke kamarnya, meninggalkan aku dan Reno berdua di ruang depan asrama. Reno bilang katanya memang Rina seperti itu, mood-nya sangat mudah sekali berubah. 

Aku menatap Reno yang duduk di sofa dan sibuk dengan ponselnya sekarang. Ia terlihat begitu fokus. Aku mencoba untuk mengajaknya kembali bicara. "Ren, kamu kuliah di mana?"

"Kita satu kampus kok. Aku juga mahasiswa baru," ucapnya tanpa melirik ke arahku.

Satu kampus? Mahasiswa baru? Kami seumuran?

"Oh, begitu."

Hening melanda, tak ada lagi yang bicara. Reno sungguh mengabaikanku, ia enggan memalingkan wajahnya dari layar yang ditatapnya. Dahulu Ranggawuni tak pernah mengabaikanku seperti ini. Sesibuk apapun Ranggawuni, ia tetap memperhatikanku.

Greatest King [SINGHASARI]Where stories live. Discover now