28. Namanya Julius

2.6K 605 219
                                    

Malang, 2020.

Aku membuka mataku perlahan, cahaya matahari di siang hari sesaat terasa seperti membutakan mataku. Kepalaku pusing sekali, bahkan untuk sekadar memikirkan apa yang baru saja terjadi kepadaku, aku tak sanggup. Terdiam, aku hanya diam hingga celanaku terasa berat karena menyerap air yang mengalir di sungai.

"Ah, jadi basah deh celanaku," gerutuku pelan. Berkali-kali aku mengerjapkan mata karena rasanya mataku seperti baru saja terbuka setelah terpejam selama berabad-abad.

Netraku menangkap Kangmas Panji yang tengah berbaring di atas sebuah batu, kedua matanya terkatup. "Kangmas? Jangan tidur di sini!"

Kugoyang-goyangkan tubuhnya agar ia tersadar, tetapi kangmas tak kunjung bangun. Sementara itu, kepalaku masih terasa pusing, aku berusaha mengingat apa yang baru saja kami alami, namun sulit sekali untuk mengingatnya.

"Rajni ... kita udah kembali ke masa depan?" tanya Kangmas Panji dengan suara lirih. Ia terbatuk-batuk setelahnya, buru-buru aku mendudukkan tubuh kangmas untuk bersandar pada batu yang sebelumnya ia tiduri.

"Kita sudah di masa depan, kan?" Kangmas Panji bertanya lagi, membuatku tertegun sejenak karena tengah memproses pertanyaannya. 

Tubuhku hampir saja hilang keseimbangan ketika aku ingat bahwa aku dan Kangmas Panji baru saja mengalami perjalanan melintasi dimensi waktu. Untung Kangmas Panji dengan sigap menahanku agar tidak terjatuh. Butiran kristal bening perlahan turun dari pelupuk mataku dan membasahi pipiku. Kangmas menarik tubuhku untuk ikut duduk di sebelahnya.

"Nangisnya di sini aja," kata Kangmas Panji sambil merentangkan tangannya, menawarkan pelukannya sebagai tempatku menumpahkan air mata.

Air mataku berlinang tanpa henti, ini adalah hal yang sangat berat untukku. Bagaimana bisa aku melupakan apa yang baru saja terjadi kepadaku dan kangmas?

Aku mengingat semuanya.

Berkali-kali aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa setelah ini semuanya akan berjalan baik-baik saja. Aku yakin aku bisa melewatinya. Namun, semua keyakinan itu buyar ketika bayang-bayang Ranggawuni datang mengisi rangkaian kenangan dalam ingatanku.

Tangisku semakin menjadi-jadi, Kangmas Panji terus berusaha menenangkan aku. Ia bilang, jangan sampai aku menangis hingga hidungku memerah karena katanya aku akan terlihat seperti badut. Bisa-bisanya kangmas membuat lelucon seperti itu di saat aku tengah menangis, huh!

"Sepertinya akan lebih baik kalau aku bisa melupakan segala hal yang terjadi di Tumapel," lirihku yang sudah mulai kelelahan menangis, bahkan air mataku pun perlahan mengering.

"Menurutku, akan lebih bagus kalau kamu ingat dengan semua yang pernah terjadi di Tumapel, Raj," balas Kangmas Panji, "ada banyak hal baru yang kita pelajari selama di sana. Walau meninggalkan luka di hati, setidaknya luka itu akan membantu kamu untuk menjadi lebih dewasa dalam mengenal arti hidup."

Mulutku membulat, tak percaya Kangmas Panji bisa berkata sebijak itu di saat ia sendiri juga baru mengalami hal yang sama sepertiku. "Wah, Kangmas Panji bijak, nih?"

"Aku memang selalu bijak, kamu aja yang gak pernah mau mendengar kata-kataku."

Hanya sebuah decehan pelan yang kuberikan untuk menanggapi perkataannya. Aku membasuh wajahku dengan air dari sungai, kemudian merapikan pakaianku yang acak-acakan, demikian pula dengan Kangmas Panji.

"Muka aku kelihatan kayak orang baru nangis gak?" Aku bertanya seraya memeras bagian bawah celanaku yang basah.

"Kamu nanya ke aku, tapi wajahmu malah ngelihat ke bawah. Gimana aku mau lihat?" Kangmas memutar bola matanya malas yang membuatku menyengir. Aku menoleh ke arahnya dan membiarkan kangmas mengamati. "Gak kelihatan kayak habis nangis sih, tapi wajahmu memang terlihat murung."

Greatest King [SINGHASARI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang