15

2.1K 325 12
                                    

Abcdefg : Percakapan dalam buku harian Riddle
'Abcdefg' : Monolog dalam hati
"Abcdefg" : Dialog biasa
:Abcdefg: : Parseltongue

OoOoOoOoOo

Pengalaman berjalan berdua bersama Tom lebih menyenangkan dari pada kunjungan ke Hogsmeade! Sesekali Harry menggoda Tom yang memerah antara malu dan marah, huuuh! harry tak bisa memungkiri rasa yang tersirat dalam hatinya, dia jatuh hati pada seorang Philophobia. Akan sangat sulit menyukai seseorang dengan sindrom unik tersebut, terutama Tom, yang belum pernah mengenal cinta. Kegelapan dalam hatinya muncul karena tak pernah tersentuh kasih sayang, tinggal di panti asuhan dan menerima perunduian sejak kecil bukan sesuatu yang mudah untuk anak dengan usia dini, akan terasa sangat berat diawal, dan akhirnya Tom membentengi hatinya juga dirinya. Pengalaman mengerikan itu tidak akan pernah terlupakan dan selalu membekas di hati, menyisakan dendam yang dalam.

Sebagai ayah harusnya Tom Riddle Sr. mengerti keadaan anaknya, walau tak sedikitpun mencintai istrinya Merope Gaunt, harusnya pria itu sedikit memiliki hati untuk darah dagingnya, dia tak pantas disebut seorang ayah. Tak heran bila Tom Riddle Jr. sangat bernafsu membunuh ayah dan seluruh keluarganya, mereka mengerikan!

Harry tak dapat membayangkan bagaimana keadaannya bila berada di posisi Tom. Dia merasa dirinya jauh lebih beruntung dari pada Tom, dia masih bisa merasakan kasih sayang tulus nan murni walau bukan dari orang tua kandungnya.

"Tom apakah kau mau ikut ke Hogsmeade bersamaku?" Tanya Harry antusias, dia masih kokoh dalam pendiriannya untuk menaklukan Tom, Harry tak akan menyerah hingga titik darah penghabisan, dia ingin Tom bahagia di setiap detik dalam hidupnya.

"Kau gila? Di luar sana masih ada satu dua orang yang mengenali wajahku." Jawab Tom tanpa ekspresi dingin, sangat berbeda, dan jauh lebih indah.

Harry tersenyum manis, satu tahun sudah keduanya bersama dan akhirnya Tom bisa menampilkan ekspresinya walau sedikit.

"Aku senang kau sudah mulai berekspresi Tom. Sering-seringlah mengeluarkan ekspresi sesuai suasan hatimu Tom, jangan kau pendam sendirian." Harry mendongak menatap dalam mata biru Tom. Harry tersenyum manis, tak apa bila sekarang Tom tidak meresponnya. Semua memiliki waktunya sendiri, tidak ada kata instan dalam kamus Harry, biar waktu yang menunjukkan ketulusan Harry untuk Tom.

"Itu tak ingin psikis mu terganggu. Kau tahu, aku selalu mengkhatamkan mu." Lanjut Harry dengan suara pelan, pipinya memerah malu, dan semakin merah karena tatapan Tom pada dirinya.

Jari telunjuk Harry membuat pola abstrak di dada penyihir yang lebih tua. Takdir memang tak bisa diprediksi, siapa sangka Harry akan jatuh pada orang yang membinasakan keluarganya.

Harry tahu dirinya masih lah sangat naif, dia belum tahu pahit asam dunia tapi sudah sangat yakin untuk mengarahkan Tom menjadi lebih baik. Terserah apa kata dunia, Harry hanya ingin menikmati masa-masa indahnya. Harry tak bisa memilih melabuhkan hatinya pada siapa, dia hanya mampu berusaha agar perasaannya bukan cinta sepihak.

"Kau naif Harry. Kau jelas tahu siapa dalang di balik kematian orang tuamu." Ujar Tom yang Harry balas dengan kekehan kecil.

Danau Hitam menjadi saksi terkikisnya sedikit rasa benci Tom, mungkin.

"Aku jelas sangat tahu Tom. Selalu ada hikmah di balik suatu kejadian, bukannya aku senang dengan kematian orang tuaku, jelas aku sangat sedih kehilangan mereka berdua dalam usia sangat muda. Tapi, bila saat hal itu tak terjadi aku tak akan pernah mengenal Jane dan Justin." Tutur Harry. Remaja laki-laki asal Ravenclaw berparas manis itu memutuskan duduk di tepi danau.

"Kemari Tom." Pinta Harry dengan tangannya yang melambai-lambai.

"Bossy!"

Walau hatinya menolak, tetap saja Tom mendudukkan dirinya di sebelah Harry.

AMORTENTIAWhere stories live. Discover now