34

1.8K 269 25
                                    

"Apa yang kau rencanakan?" Suara Harry memecah keheningan diantara keduanya. Sejak kedatangannya ke sini, Voldemort hanya bungkam, begitu pun dirinya yang tak tahu harus berbicara apa. Voldemort langsung menarik Harry ke dalam pelukannya, mengunci keduanya di ruang kerja pribadinya, saling memeluk satu sama lain.

Harry mengangkat wajahnya dari ceruk leher Voldemort, menatap netra merah yang bersinar, juga paras rupawan yang terpahat apik milik Voldemort. Harry bukan jatuh karena rupanya, bukan juga karena namanya, apalagi apa yang Voldemort miliki. Dia jatuh tanpa alasan pada orang di hadapannya, tanpa tahu cara untuk menarik diri.

"Rencanaku bukan sesuatu yang harus kau ketahui, Harry." Kedua netra berbeda warna milik keduanya bertemu pandang, saling menatap dalam jarak yang cukup dekat, namun sayang Harry tak bisa membaca sedikit pun isyarat dari sorot mata Voldemort.

"Kau masih tak mempercayaiku." Harry membuang wajah. Apa sesulit itu bagi Voldemort untuk memberikan sedikit kepercayaan padanya?

"Bila aku tak mempercayai mu, aku pasti sudah membunuh mu sejak hari itu tepat di atas nisan Riddle." Balas Voldemort dengan tangan yang bergerak merapihkan rambut Harry yang jatuh menutupi wajah manisnya. Dia hanya tak ingin Harry ikut campur dalam rencananya, melarangnya terlalu banyak.

Memang sejak awal Tom sudah menaruh hati pada Harry, begitu pun Voldemort, hanya saja egonya yang begitu tinggi melarangnya untuk jatuh pada apapun yang mereka sebut cinta.

"Lalu kenapa?" Harry mengigit bibirnya mencoba menahan semua pertanyaan yang memaksa keluar dari mulutnya.

"Aku selalu bermimpi buruk tentang mu, tentang Nagini, dan tentang beberapa Muggle. Aku melihat Nagini di sebuah ruangan yang tak aku ketahui, aku melihat kalian." Lanjut Harry dengan suara yang semakin mengecil.

Voldemort mengerutkan keningnya bingung, kenapa Harry bisa tahu apa yang dia lakukan? Voldemort bersumpah dia tak memberi tahu siapapun kecuali Nagini dalam ekspedisinya mencari sebuah ramalan tentang dia dan Harry di Departemen Misteri. Bagaimana bisa? Apa takdir senang bermain dengan hidupnya? Pertama ramalan sialan itu, kemudian peristiwa di Godric Hollow, Batu bertuah, kamar rahasia, hingga perjanjian dengan Harry.

Sepetinya takdir memang ingin selalu membuatnya terikat dengan satu orang yang sama, Harry Potter, his little serpent.

"Aku mencari ramalan tentang kau dan aku di departemen misteri." Akhirnya Voldemort memilih berkata jujur pada Harry, toh Harry pun sudah tahu tentang rencananya.

"Untuk apa?"

"Memastikan ramalan tentang kita berdua."

"Apa kau masih berniat untuk membunuhku? Kau memastikan ramalan sialan itu, dan saat kau mengetahui kebenarannya, kau akan membunuhku seperti yang selalu kau inginkan dulu."

"Aku mencintai mu Tom, Voldemort, dan siapapun nama mu. Tak terlintas sedikit pun keinginan untuk membunuh mu. Aku, ak-"

Cup, sebelum selesai Harry menyelesaikan kalimatnya, bibirnya lebih dulu dipagut oleh Voldemort.

Voldemort memperdalam pagutan keduanya, menarik Harry untuk lebih dekat padanya. Tangannya membelit pinggang Harry, menahan Harry untuk menjauh, dan tak ingin Harry menjauh darinya.

"Sttt, jangan berpikiran bodoh. Akan sia-sia bila aku membunuh mu, Harry." Ucapnya saat pagutan keduanya terputus.

Posisi ini adalah favoritnya, dalam posisi ini Voldemort bisa lebih jelas melihat wajah Harry yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Voldemort dapat lebih jelas melihat pipi kemerahan Harry saat si empunya malu, juga bibir, hidung, mata, dan semua yang ada pada Harry itu indah.

AMORTENTIAحيث تعيش القصص. اكتشف الآن