22

2K 313 56
                                    

Luna Lovegood, adik tingkatnya, satu tahun di bawahnya. Harry memutuskan mengajak Luna untuk menemaninya di Yule Ball, satu minggu lalu Harry menemukan gadis itu di tepi Danau Hitam berbicara sendirian, Luna bisa melihat apa yang tak bisa orang lain lihat, dan itu yang menjadi daya tariknya di mata Harry.

Luna bercerita pada Harry bahwa kebanyakan siswa Ravenclaw dengan tahun yang sama dengannya lebih sering memanggilnya Luna Loony karena dia selalu sendiri, jarang ada yang mau menemaninya, dia di anggap aneh karena kelebihannya. Dunia memang tak pernah adil.

Terkadang perkataan Luna sukar dipahami, bahkan untuk Harry. Namun saat dia mengerti apa yang di maksud Luna, semuanya nyata dan benar terjadi, dia jadi berpikiran bahwa Luna lebih kompeten dari Trelawney dalam hal meramal.

23 Desember 1994, selepas Harry dan Luna menyelesaikan latihan dansa, keduanya berjalan beriringan di bawah sang senja. Angin senja terasa dingin dan menusuk kulit, juga warna jingga alami yang tergantung mewarnai langit menemani langkah keduanya.

Keduanya tak banyak berbicara, Harry maupun Luna bukanlah orang yang akan lantang dalam berpendapat dan senang hati membuka mulut. Diam adalah emas, landasan keduanya dalam menjalani hidup, namun tak menutup kemungkinan bahwa berbicara merupakan jalan keluar dari masalah pelik yang sedang dialami.

"Harry, kau menyembunyikan sesuatu yang tak bisa kau kendalikan. Jangan terlalu berharap Harry, realita kadang menyakitkan." Ucap Luna tanpa menoleh ke arahnya, pandangan gadis itu lurus ke depan seakan ada sesuatu yang menarik di depan sana.

Harry tertegun, sekali lagi perkataan Luna sama dengan apa yang sedang dialaminya, kegundahan, keraguan, ketakutan, dan kesepian. Dia tak memiliki teman untuk berbagi cerita dan bersandar dalam kasus ini, dia tak mungkin menceritakannya pada orang lain, dia tak cukup bodoh untuk melakukan hal tersebut.

Harry tahu dia salah, dia mengorbankan hidup orang lain untuk keindahan sesaat yang bisa hancur kapan saja. Melepaskan Tom lebih sulit dari yang dia bayangkan. Pengalaman yang mereka berdua arungi, sudah terlalu melekat kuat dalam ingatannya.

"Harry, aku tak mendoktrin mu untuk melepaskannya. Kau memang mencoba merubah jalan yang dia ambil, namun bila kau sudah tak kuat menanggung beban, lepaskan saja." Lanjut Luna. Gadis itu menoleh ke arahnya dan memberikan senyum termanis yang dia punya, gadis itu mencoba memberikan dukungan moral untuk teman barunya.

"Terimakasih Luna." Jawab Harry sembari balas tersenyum. Pilihan yang dia ambil adalah pilihan ekstrem yang mempertaruhkan banyak nyawa, saat dia berhasil dia bisa membebaskan Inggris Raya dari terror gelap dan mendapatkan Tom untuk dirinya, namun ketika dia kalah dia kehilangan keduanya.

Keduanya berjalan pelan dengan obrolan ringan tanpa ramalan, menelusuri jalan menuju dorm Ravenclaw di atas menara. Sama halnya dengan Gryffindor, Ravenclaw pun tinggal di atas menara.

"Beberapa mencoba untuk bersembunyi, beberapa mencoba untuk curang, tapi waktu selalu menunjukkan, kita akan selalu bertemu. Siapa aku?" Tanya sebuah lukisan di dinding yang menjadi jalan masuk ke dalam dorm Ravenclaw. Saat asrama lain hanya menggunakan kata kunci untuk masuk, Ravenclaw menggunakan sistem yang berbeda, mereka menggunakan teka-teki untuk mengasah kemampuan berpikir mereka.

"Kematian." Jawab Harry dan Luna bersamaan. Keduanya sangat tahu persis apa yang di maksudkan, keduanya sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, ibu yang meninggal di depan mata mereka. Harry memang masih berusia 15 bulan saat ibu dan ayahnya direnggut paksa darinya, tapi berkat insiden Dementor dia tahu kronologis kematian ibunya.

"Bagus, silahkan masuk."

Mereka berdua mengangguk kompak dan langsung melangkah masuk.

Harry kembali merenung. 'Tom seharusnya sudah tak ada sejak malam Halloween tahun 1981 lalu, apa Tom mencurangi kematian?' Pikirnya, dia kebingungan dan entah harus bertanya pada siapa untuk mendapatkan jawaban. 'Tom memiliki setengah jiwanya dalam buku harian, dia nyata walau hanya ingatan.' Pikirnya lagi, teka-teki kematian. Tom mencurangi kematian, dia tahu sejak muda Tom memang sudah takut akan kematian, Tom terlalu berambisi untuk abadi bahkan sampai sekarang.

AMORTENTIAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt