07. Trauma

1.1K 178 24
                                    

Bab 07: ᴛʀᴀᴜᴍᴀ

Seperti janji Arjuna kemarin, setelah membantu Ratna berjualan di pasar, mereka akan mencari kalung Aeris yang hilang.

Saat ini, Aeris dan Arjuna sedang duduk menunggu Nalesha yang sedang mandi. Sembari memakan kue yang tersisa di pasar tadi pagi, Aeris menggerutu karena Nalesha yang tak kunjung selesai.

"Aeris, kamu sudah menghabiskan berapa kue ini?" tanya Arjuna yang melihat banyaknya sampah daun untuk membungkus kue di bakul.

"Banyak," jawab Aeris singkat.

"Ini mah kamunya bakal ngantuk duluan kalo makan banyak," ucap Arjuna.

"Tinggal bangunin aja, Kak," jawab Aeris.

Tak lama dari itu, tiba-tiba suara petir memasuki indra pendengaran Aeris, ia yang kaget lalu tak sengaja melempar kue yang ada di tangannya.

Aeris menutup kedua telinganya menggunakan tangan, ia lalu menutup matanya. Memori mengenai kecelakaan dua tahun lalu kembali memasuki ingatan Aeris. Arjuna yang melihat Aeris seperti itu sedikit terkejut dan heran.

"Ris, kamu kenapa?" tanyanya, namun, Aeris tak kunjung menjawab.

"Aeris? Hei, bisakah kau menjawab?" Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut Aeris.

"Aeris! Kamu kenapa Dek?" panik Arjuna ketika melihat kondisi Aeris yang semakin ketakutan.

•••

Tepatnya tanggal 13 Juni 2047, Aeris mengalami kecelakaan hebat bersama teman-teman satu angkatannya. Empat bis flugi yang mengangkut mereka semua menabrak kendaraan lain di udara.

Saat itu cuaca memang sedang tidak baik, hujan lebat membasahi kota Drayce yang membuat pengemudi bis flugi itu tidak melihat adanya kendaraan lain yang sedang melintas.

Kecelakaan tak bisa dihindari. Keempat bis flugi yang mengangkut satu angkatan Aeris, menabrak lima flugi lainnya.

Aeris yang saat itu sedang tertidur, tiba-tiba terbangun ketika bis yang ditumpanginya mulai jatuh ke tanah.

Teriakan demi teriakan terdengar, memasuki indra pendengaran Aeris bersama bis flugi yang jatuh dengan cepat.

Ketika murid lain menangis dan berteriak, Aeris hanya diam dan memakai sabuk pengamannya, seolah ia sudah siap jika terjadi benturan.

Dalam hitungan ketiga, bis yang mereka tumpangi akan jatuh.

Satu. Aeris masih menatap keluar jendela, melihat tanah yang sudah ada di depan matanya.

Dua. Aeris mulai memejamkan matanya, kedua tangannya meremas sabuk pengaman dengan sangat erat, tak lupa ia berdoa untuk keselamatannya.

Tiga. Ledakan besar tak terhindarkan. Aeris terlempar beberapa meter dari tempat kejadian.

Untungnya ia memakai sabuk pengaman, jika tidak, besi lancip di depannya mungkin sudah bertengger indah di perutnya.

Pelan-pelan Aeris membuka matanya, ia melihat kobaran api di mana-mana. Ia ingin membuka sabuk pengamannya, namun tangannya terlalu sakit untuk digerakkan.

Aeris melihat ke tangan kanannya, luka akibat ledakan itu membuat tangan indah miliknya dihiasi oleh darah pekat, begitu juga dengan tangan kirinya.

Namun, Aeris memaksakan kedua tangannya yang dipenuhi oleh darah itu untuk membuka sabuk pengaman yang melilit dirinya. Dengan tangan yang bergetar menahan sakit, akhirnya sabuk pengaman itu berhasil dilepas.

Aeris mencoba berdiri, namun, kakinya terlalu sakit. Ia tak menyerah. Aeris meyeret tubuhnya sendiri menuju tempat lokasi kecelakaan itu. Tidak lupa hujan deras yang menemaninya sekarang.

Edith: Survive in PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang