49. Selamat Tinggal, 1820

824 146 42
                                    

Sebelum baca, ayoo, vote dulu.

Bab 49: sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴛɪɴɢɢᴀʟ, 1820

Idris memancarkan senyumannya ketika berhasil menaklukan Kerajaan Danadyaksa. Nasib Pangeran Theo sangat mengenaskan, Idris tidak main-main dengan ucapannya. Pangeran Mahkota satu itu bersenandung sembari menunggangi kudanya menuju Hanasta, menemui sang Kakak.

Matahari sangat terik saat Idris sampai di permukiman Hanasta, tidak banyak warga yang ada di sini, membuat Idris mengernyitkan dahinya bingung. Ia terkejut saat melihat warga-warga mengelilingi Kerajaan sambil memukul-mukul dindingnya---walau itu tidak berguna karena akan membuat tangan mereka sakit.

"Kami tidak ingin Ratu yang tak jelas asal-usulnya!" teriak salah satu warga yang disetujui oleh warga lainnya. Merasa ada yang tidak beres, Idris segera menemui prajurit yang bertugas menjaga gerbang Kerajaan.

"Biarkan aku masuk," ucap Idris ketika kedua prajurit tersebut melarangnya masuk.

"Maaf, tapi Yang Mulia tidak memperbolehkan orang lain untuk masuk ke dalam Kerajaan Hanasta saat ini," jawab salah satu prajurit.

"Aku keluarga Ratu, izinkan aku masuk!" Kedua prajurit itu saling tatap. Mereka terdiam sesaat lantas membukakan gerbang untuk Idris. Tanpa berlama-lama lagi, segera Idris masuk dan melihat suasana Kerajaan yang sepi.

Idris turun dari kudanya, ia menghampiri salah satu dayang yang lewat di dekatnya.

"Maaf, boleh aku bertanya?" Dayang tersebut memberhentikan langkahnya kemudian menatap Idris lalu mengangguk.

"Ada apa dengan Kerajaan Hanasta? Tadi aku melihat banyak warga yang berkumpul di sekeliling Kerajaan dan meneriaki nama Ratu," tanya Idris.

"Ada masalah dengan Ratu Aeris," jawab dayang tersebut.

"Masalah apa?"

Mengalirlah cerita dari mulut dayang tersebut. Tentang jasad Putri Aeris yang asli, warga-warga mulai mengetahuinya, dan pengkhianatan salah satu pengawal Raja Valendra sendiri. Idris yang mendengarnya sangat terkejut, ia tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya.

"Itu bohong .... " Idris menggelengkan kepalanya.

"Ratu sendiri yang mengatakannya."

"Kakakku tidak mungkin mati! Dia masih hidup!" Idris berteriak, matanya merah, menahan tangis. Dayang tersebut terkejut mendengarnya.

"Pangeran Idris .... "

"Di mana mereka sekarang?" tanya Idris dengan intonasi tinggi. Air matanya sudah mengalir di kedua pipinya.

"Raja Valendra mengantar Ratu Aeris kembali. Dari yang kudengar, mereka menuju air terjun di atas sana." Dengan segera Idris menaiki kudanya lagi dan pergi ke lokasi air terjun sesuai perkataan dayang tadi.

"Kau tidak boleh ke mana-mana sampai aku bertemu denganmu, Kak. Kau harus menjelaskan semua ini!" Idris berteriak sambil menunggangi kudanya dengan cepat.

•••

Butuh waktu lebih lama agar mereka—Aeris, Valendra, Kalandra, Arjuna, dan Nalesha—sampai ke air terjun. Mereka pun tidak ada yang membuka pembicaraan selama perjalanan, hanya suara kuda dan kicauan burung yang terdengar.

Aeris terpikir satu hal, ia menyentuh kalungnya dan memejamkan matanya. Aeris mengelus kalung tersebut, dari kanan ke kiri, lalu ke atas, membuat sebuah simbol. Namun, tak ada yang terasa. Tidak menyerah, Aeris kembali mencobanya lagi, namun, hasilnya sama seperti tadi.

Karena tidak ada sistem yang langsung menghubungkannya dengan mesin waktu, Aeris harus berbicara terlebih dahulu dengan pendiri Edith. Caranya dengan melakukan apa yang Aeris lakukan tadi. Seharusnya, jika terhubung, kalung tersebut akan bercahaya dan terasa hangat, namun, tidak terjadi apa-apa.

Edith: Survive in PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang