.・゜゜・𝙀𝙣𝙖𝙢 .・゜゜・

36.2K 3.5K 234
                                    

HAPPY READING
^________________^

"Shh tangan Iyan di cubit mulu sii." Di boncengan belakang, Vigran terus merengek lantaran telapak tangannya yang melingkar di pinggang Vian terus merasakan cubitan maut dari Kakaknya.

"Tangan Lo ga usah banyak tingkah bisa ga?" Kalimat penuh tekanan menguar. Merasa kesal dengan tangan kecil nan bantet milik Vigran yang terus bergerak masuk ke seragamnya, kemudian jari-jari kecil itu akan mencubit perut sixpack miliknya. Hal tersebut tentu membuat Vian tak fokus dalam menjalankan motor yang Ia kendarai.

"Kakak mau tukeran perut sama Iyan ga? Perut Iyan emang ga ada ladang sawah kaya punya kakak, tapi perut Iyan banyak daging nya loh." Masih dengan tangan yang di dalam seragam Vian, Vigran sedikit berteriak agar Vian dapat mendengarkan ucapannya.

"Berisik Lo! Mana si tukang satenya?" Vian tak mengindahkan pekikan Vigran sedari tadi. Ia terlalu sibuk mencari pangkalan tukang sate yang kata adiknya tinggal 100 meter lagi. Tapi nyatanya mereka sudah mengendarai motor sejauh 1km setelah terakhir Vigran mengatakan hal tersebut.

"Di mana sialan?! Gua turunin juga Lo di sini ya?" ancam Vian merasa pertanyaan tadi di abaikan oleh Vigran.

Mendengar hal itu Vigran segera mengeluarkan tangannya dari dalam seragam Vian. Ia kemudian berucap. "Tinggal belok kiri terus kalau ada perempatan belok kanan abis tu sampai deh!"

Vian memutar bola matanya malas. Namun tak ayal Ia mengikuti arahan dari Vigran. Setelah sekitar lima menit berkendara, akhirnya tempat yang di maksud Vigran sudah berada di depan mata. Vian memelankan laju motor. Setelah berhenti, Ia parkir-kan motor hitamnya di sebelah warung sate tersebut.

Vian melepas helm yang di kenakan. Ujung matanya melirik wajah cerah Vigran yang justru terlihat bodoh di mata Vian.

"Ayo makan sate!" Vigran berseru. Kaki pendeknya hendak Ia bawa lari, namun tak jadi saat kerah seragamnya di tarik paksa membuat tubuhnya hampir terhuyung ke belakang.

"Jangan di tarik, nanti kancing baju Iyan tambah banyak yang lepas." Vigran membenarkan letak bajunya yang sudah melorot sana sini.

"Ga malu Lo udah kaya gembel gitu?" Vian berujar sinis melihat dua kancing seragam bagian atas milik Vigran yang sudah lepas membuat bahu mulus anak itu terekspos begitu saja.

"Ngapain malu, Iyan kan pakai baju," balasnya begitu enteng.

Vian yang mendengar rasanya Ingin sekali menampar wajah bocah bodoh di hadapannya. Namun tidak, Ia masih sadar tempat dan keadaannya kini bagaimana.

"Bawa baju ganti ga Lo?" tanyanya kembali.

Vigran menggeleng membuat Vian menghela napas kasar. Pemuda itu melepas hoodie yang dikenakan kemudian Ia pakaian ke tubuh pendek Vigran. Bibirnya berkedut melihat tubuh Vigran yang hampir tenggelam oleh
hoodie miliknya.

"Gede banget ih." Vigran bergumam pelan yang masih dapat di dengar Vian.

"Lo nya yang kependekan ga usah salahin hoodie nya."

"Siapa yang salahin, Iyan ga ngomong apa-apa kok." Vigran mengelak.

Vian tak menjawab ucapan Vigran, Ia mengambil jari-jari kecil milik Vigran. Kali ini bukan untuk mencengkram namun menggandengnya.

"Ayo masuk," ajaknya yang di balas anggukan patuh.

Setelah keduanya duduk di salah satu kursi yang tersedia, kini hanya keheningan yang melanda. Vian fokus pada ponselnya dan Vigran yang hanya berdiam saja.

REDIGUEZ FAMILY || ENDWhere stories live. Discover now