♛𝘿𝙪𝙖𝙥𝙪𝙡𝙪𝙝𝙙𝙪𝙖♛

24.3K 2.8K 361
                                    

HAPPY READING
༶•┈┈⛧┈♛♛┈⛧┈┈•༶

"Hiks daddy, burung Iyan mati," lelehan cairan bening mengalir deras melewati pipi berlemak milik Vigran.

"tidak apa baby, nanti kita beli lagi ya," bujuk Albern berharap putra bontotnya berhenti menangis dan beranjak dari gundukan tanah kecil dengan lolipop warna-warni yang Vigran jadikan sebagai nisan burung itu. Kenapa lolipop? karena warna burung itu beragam seperti lolipop.

"Ga mau daddy...." Vigran menubrukkan tubuhnya ke pelukan Albern. Sedari tadi ia menangisi kepergian Mamar, yaitu jenis burung berukuran mungil yang baru saja ia beli tapi harus mendapatkan nasib buruk gara-gara tangan sialan abangnya. Vigran menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Albern, lelah juga lama-lama menangis.

"Mengantuk hm?" Albern mengangkat tubuh kecil Vigran ke gendongan koala. Menunduk untuk melihat wajah putranya yang sudah sayu.

"Daddy mau susu, pakai dodot ya," pinta Vigran dengan suara pelan.

"Baiklah, tunggu sebentar sayang," balas Albern mengelus rambut legam putra bungsunya.

Albern langsung menyuruh maid membuatkan keinginan Vigran. Kaki jenjangnya hendak melangkah keluar kandang tapi tertahan oleh Vigran.

"Sini aja, Iyan mau ngawasin mereka biar ga di bunuh lagi sama Abang Dodo." Ujarnya seraya berdecak sebal mengingat burung peliharaannya yang penyet di tangan Ando.

Albern hanya terkekeh mendengar decakan sebal putra bungsunya. Dia memilih mendudukan bokongnya di salah satu kursi yang tersedia.

Sorot matanya juga tak lepas dari wajah menggemaskan si bungsu yang nyaman mengedot seraya menyender di dada bidangnya. Pria itu kembali mengelus rambut Vigran yang mulai memanjang sesekali mengecupnya singkat.

"Dad," panggil seseorang.

Albern mendongak, menoleh ke sumber suara yang ternyata adalah Nico.

"Dari mana?" Albern mengangkat sebelah alisnya.

Nico terdiam sebentar, lalu berujar. "Hanya memastikan sesuatu yang akhir-akhir membuatku khawatir."

"Apa?" tanya Albern ingin tahu.

Albern mengerutkan kening melihat keterdiaman putra sulungnya. Albern hanya membalas menganggukan kepala lalu kembali melanjutkan kegiatannya untuk membuat si bontot tertidur. Sesekali melirik Nico yang terus menatap Vigran sembari bersedekap dada.

Cowo itu tak acuh akan kebingungan sang daddy, ia mengamati kandang yang berisi para hewan peliharaan adiknya. Nico tahu kerusuhan yang di buat para hewan peliharaan itu. Dia juga yang membantu para bodyguard menangkap para hewan walau berakhir tangannya terkena tai dari si musang.

Mata yang setajam elang itu masih fokus mengamati. Hingga sorot mata terhenti pada kandang pojok yang berisi hewan karnivora berwarna oranye dengan beberapa garis hitam di tubuhnya. Kakinya melangkah mendekati hewan itu yang ternyata juga menatapnya tajam.

"Bukankah terlalu berbahaya untuk memelihara hewan buas seperti ini," ujar Nico pelan. Masih setia mengamati hewan buas di depannya.

Nico mencoba mendekat, tapi hewan itu malah meraung keras membuatnya refleks menodongkan belati yang selalu dia taruh di belakang kaus.

REDIGUEZ FAMILY || ENDWhere stories live. Discover now