.・゜゜・𝘿𝙚𝙡𝙖𝙥𝙖𝙣𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨.・゜゜・

27.6K 3.1K 276
                                    

HAPPY READING
^_________^

"Tetap seperti itu." Albern berucap lirih melihat pemandangan dari celah pintu yang membuat sudut bibirnya terangkat. Dia baru saja pulang kerja berniat menemani si bontot tidur karena hampir seharian penuh berada di kantor dan baru bisa pulang ketika waktu menunjukan tengah malam.Tangannya bergerak menutup pintu sepelan mungkin agar tidak mengganggu dua orang yang baru saja menyelami mimpi.

Albern memasuki kamarnya, mengendurkan dasi yang terasa mencekik.Manik matanya terfokus pada foto bingkai berukuran besar yang terpampang jelas di tembok kamar. Foto itu menangkap gambar dua insan yang baru saja melakukan pernikahan. Albern tersenyum getir, membelai wajah wanita yang terlihat anggun mengenakan gaun pengantin.

"Kau pergi terlalu cepat honey."

Albern memejamkan mata tangannya meremat kuat dadanya. Hatinya berdenyut Lara mengingat bagaimana mendiang sang istri yang harus meninggalkan dunia dengan cara yang tragis.

Albern mengusap wajahnya kasar lalu mendudukan bokongnya di tepi ranjang. Tangannya terulur mengambil foto bingkai seorang bocah yang berada di atas nakas.
Albern mengelus foto itu, tak sadar sudut bibirnya terangkat. "Jangan ada yang pergi, putra-putra Daddy."

***

"Dada abang Nico kok gede kaya punya mama-mama. " Vigran menggigit pelan dada Nico yang terbalut kaos tipis membuat pemuda itu meringis pelan.

"Shh ngapain di gigit, mau nenen?" tanya Nico mencoba guyonan.

"Iyan gemes tapi ga mau nenen sama abang ga ada susunya." Vigran berujar tanpa ingat dosanya. Membuat Nico yang mendengar langsung tertawa hambar.

Sudah bawaannya Vigran itu mudah dekat dengan orang baru entah itu bayi, balita, atau nenek tua. Ia akan nyaman-nyaman saja yang penting orang itu juga nyaman bersama dirinya.

Seperti pagi ini, Vigran yang anteng berada di gendongan Nico dengan jari mungil yang aktif menggambar abstrak di dada bidang Nico. Pemuda itu sibuk memasak dengan satu tangan. Demam bocah itu sudah sedikit mereda, plester demam yang di pakaikan semalam juga sudah dilepas.

Nico mematikan kompor lalu menyuruh maid membawakan makanan yang baru saja dia masak ke meja makan dan meninggalkan dapur bersama vigran yang anteng di gendongannya bak monyet yang bergelayut di dahan pohon.

Nico mendudukan bokongnya di salah satu kursi dan membalikkan tubuh Vigran menghadap meja makan. Anak itu terus mengoceh riang yang di balas sama antusiasnya oleh sang Abang.

"Bibi, susunya Iyan mana?" Vigran celingukan saat tak mendapati keberadaan minuman kesayangan nya di atas meja.

"Saat di dapur menemani tuan Nico memasak, Tuan muda sudah meminum dua gelas susu. Jadi, tidak saya buatkan lagi," balas maid lembut.

Vigran mencebik-kan bibir. "Bibi buat lagi, Iyan mau susu."

Maid itu tersenyum canggung. "Maaf, tetapi tuan Albern tidak mengijinkan Tuan muda terlalu sering minum susu," tutur si maid memberi pengertian.

"Daddy kan udah berangkat kerja. Jadi gapapa," bujuk Vigran. Ia menatap maid tersebut penuh harap.

Diam, itu yang di lakukan maid tersebut. Bingung harus menjawab seperti apa.

"Adek, Daddy kan pernah bilang maksimal minum susu satu hari cuma tiga kali." Nico berujar setelah paham situasi.

"Kapan? Perasaan Daddy ngomongnya minimal bukan maksimal," elak Vigran. Tangannya mengetuk-ngetuk dagu berusaha mengingat ucapan Albern.

REDIGUEZ FAMILY || ENDWhere stories live. Discover now