.・゜゜・𝙎𝙚𝙢𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣𝙗𝙚𝙡𝙖𝙨.・゜゜・

26.1K 3K 210
                                    

HAPPY READING
^______________^

Malam tiba, ketiga bersaudara itu masih bersama dari pagi hingga malam kini. Posisi mereka kini tengah bersantai di ruang keluarga.

Nico duduk di di sofa memangku laptopnya. Ando, pemuda itu tidur nyenyak di atas karpet berbulu dengan paha Jammy yang dijadikan bantalan. Sedangkan Vigran, anak itu sedari tadi anteng tiduran tengkurap seraya mencatat tugas sekolahnya yang ketinggalan akibat beberapa kali izin.

"Adek belum selesai kerjain tugasnya?" Nico menoleh pada Vigran yang kini asik mencoret abstrak di buku tulis halaman belakang.

"Belum, tapi Iyan ngantuk." Vigran menelungkup kan wajah di lipatan tangan tanpa mengalihkan pandang.

"Tinggalkan, biar Abang yang selesaikan." Biarpun Nico sudah lama lulus, kepintarannya dulu ketika sekolah tak pernah hilang.

"Itu namanya curang. Kata Bu Guru ga boleh kaya gitu," tutur Vigran memberi nasihat.

Beberapa detik Nico tersenyum canggung. Ia turun dari sofa dan mendekati sang adik yang kembali mencoret-coret buku.

Meletakkan kedua tangan di celah ketiak Vigran, Nico hendak membalikkan tubuh sang adik. Dan ...

Blam

Mata Nico membelalakkan terkejut. Hampir saja melempat tubuh Vigran jika ia tak ingat bahwa bocah yang berada di depannya adalah adiknya.

Lihat saja, cairan hitam hampir memenuhi wajah anak itu. Dan dengan polosnya Vigran tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang kini hitam.

"Adek kenapa mukanya gitu." Nico berujar khawatir.

Vigran melunturkan senyum. "Iyan kenapa, Abang?" tanyanya tak paham.

"Kenapa hitam-hitam gini?" Nico mengelap beberapa bercak hitam di sekitar bibir Vigran.

"Tinta pulpennya macet. Iyan sedot-sedot biar keluar malah kaya gini. Iyan jadi nyeremin ya, Abang?" Bibir Vigran mencebik. Ia jadi merasa takut melihat wajahnya sendiri.

Nico tersenyum paksa. "Engga, Adeknya Abang masih tampan," balasnya seraya mengambil tissue di atas meja.

Nico menggulung lengan baju kebesaran yang Vigran kenakan. Dan ... lagi-lagi ia di buat menghela napas lelah. Banyak sekali coretan abstrak di lengan putih nan berlemak itu.

Perasaannya mulai tak enak. Ia mencoba menggulung celana piyama Vigran. Benar dugaannya, ia kembali menemukan coretan yang berasal dari bolpoin begitu banyak, hampir memenuhi kaki pendek itu.

Nico menunduk, menatap Vigran yang hanya memandangnya polos seolah tak terjadi apa-apa. "Adek ...." Nico menggeram pelan.

Dengan lugu Vigran tersenyum manis. "Iya, Abang ada apa?"

Jika seperti ini bagaimana bisa Nico memarahi adiknya. Ia hanya bisa mengangkat tubuh Vigran kepangkuannya. Menyuruh anak itu kumur-kumur agar tinta yang di dalam mulut tidak banyak yang tertelan.

"Abang, kumur-kumurnya pakai susu coklat aja boleh? Airnya ga ada rasanya." Di sela kegiatannya Vigran mendongakkan kepala.

"Jangan mendongak." Nico menunduk-kan kepala Vigran. "Cuma kumur-kumur adek, bukan minum. Jangan di telan airnya," tegur Nico. Ia merasa tengah mengurus anak balita. Tapi Nico tetap suka, bahkan sangat.

Merasa wajah dan tubuh sang adik sudah bersih dari tinta, Nico membalikkan tubuh Vigran menghadap dadanya. "Jangan kaya tadi lagi, ga boleh. Nanti kalau kulit adek kenapa-kenapa gimana?"

"Tadi Iyan kaya apa?" Vigran memiringkan kepala. Otak kecilnya mulai Lola seperti biasanya.

Entah yang ke berapa Nico menghembuskan napas. Intinya pemuda itu sangat sabar menghadapi Vigran. "Kalau tinta bolpoin habis adek minta ke Abang atau maid, jangan di sedot-sedot kaya tadi. Kulit adek juga bisa kenapa-kenapa kalau di coret-coret tinta. Jangan di ulangi ya?"

REDIGUEZ FAMILY || ENDWhere stories live. Discover now