Bab 4a

10.7K 1.5K 54
                                    


B

ianca bangun pagi-pagi saat Orlando masih terlelap. Sakit kepalanya sudah hilang, dan ia berniat olah raga untuk membuatnya bugar. Tadinya ia berpikir sakit kepala dan perut kram karena mau haid, ternyata bukan. Ia menduga kelelahan dan kurang tidur adalah penyebab utamanya.

Menyusuri tepi kolam, ia menatap air yang biru dan jernih. Teringat akan anak-anak panti yang gembira saat diajak jalan-jalan ke pantai yang airnya tidak seberapa jernih. Anak-anak yang kebanyakan dibuang oleh orang tuanya itu, mengandalkan pada dirinya dan beberapa donatur untuk bertahan hidup. Demi merekalah, ia terdampar di rumah ini dengan pemiliknya yang dingin, angkuh, dan berkepribadian seperti iblis.

Mencelupkan kaki ke air, ia membiarkan ujung jubahnya basah. Tidak tahan untuk menjajal air, ia mencopot jubah dan menerjunkan diri ke dalam kolam. Sementara tubuhnya bergerak, otaknya berpikir tentang kehidupan yang ditinggalkan Bella. Dari pandangan orang luar terlihat sangat gemerlap, tapi ada kegelapan yang tersembunyi dengan belati yang terulur dan siap menikam kapan pun ia salah melangkah.

“Bianca, kalau suatu saat kamu ada kesempatan hidup bersama, Bella. Tolong dia dan lindungi. Bella tidak sekuat dan setegar kamu.”

Permintaan sang mama sebelum meninggal, masih terngiang sampai sekarang. Saat itu, ia yang justru kebingungan karena menurutnya Bella yang serba kecukupan yang justru harus membantunya. Siapa sangka, hidup Bella benar-benar berat.

“Apakah kamu pernah menceritakan segala gundahmu pada Mama, Bell?” Mendesah dengan mata menatap langit yang biru, Bianca menyudahi renangnya.

“Nyonya, Tuan Orlando menunggu Anda di ruang makan.” Seorang pelayan memberitahunya saat ia sedang memakai jubah.

Bianca mengangguk, melangkah menyusuri teras samping yang luas dan masuk ke ruang makan. Tiba di pintu, matanya menemukan sosok Orlando yang sedang berdiri di dekat jendela.

“Ada apa?” sapanya pendek.

Orlando memasukkan tangan ke saku, menatap wanita yang berdiri dalam keadaan basah. Lekuk tubuh Bianca terlihat dari balik jubah tipisnya. Sungguh penampilan yang berani.

“Apa kamu tidak tahu malu? Bisa-bisanya berpenampilan begitu dan berkeliaran di dalam rumah?”

Teguran Orlando membuat Bianca mengernyit. “Berkeliaran? Aku langsung dari kolam ke sini, karena kamu memanggil. Apa yang salah dengan penampilanku?”

Bantahan Bianca membuat Orlando mendekat. Ia mengamati bagaimana air menetes-netes mmbasahi karpet dan wanita di depannya seperti sengaja menantangnya. “Apa yang kamu lakukan, Bella? Sepertinya ada yang salah dengan dirimu? Kamu bahkan berani pulang lebih dulu dari pesta tanpa izinku.”

Bianca meringis, berkacak pinggang. “Tentu saja aku pulang, Tuan Orlando. Bayangkan kalau kamu jadi aku, istrimu. Harus melihat suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain dengan tidak tahu malu.” Ia berdecak dengan senyum mengejek. “Kamu boleh jadi tidak peduli, tapi aku yang malu. Lain kali, kalau kalian bergairah, tolonglah cari tempat yang pantas!”

Keduanya bertatapan dengan sinar mata saling membenci. Orlando menghela napas, menyimpan dalam hati segala keheranan. Bella yang dulu, menangis tersedu-sedu saat tahu ia punya wanita lain. Tapi Bellla yang sekarang berbeda. Terlihat tidak peduli.

“Kamu lebih peduli omongan orang dari pada suamimu berselingkuh?” ucapnya pelan.

“Memangnya aku ada pilihan lain? Bukankah dari awal kamu sudah mengatakan batas-batas antara kita? Ada hal lain? Kalau tidak aku mau naik ke atas dan mandi.”

Melihat Orlando tidak menanggapi perkataannya, Bianca melangkah cepat menuju tangga.

“Jangan bilang kalau kamu akan mencari pacar untuk membalas dendam?”

Kaki Bianca terhenti di anak tangga paling bawah, tangannya menarik tali jubahnya hingga lepas dan membukanya. Tersisa hanya pakaian renang, ia menaiki tangga. Tidak melihat mata Orlando yang melebar saat melihatnya. Di tengah tangga Bianca berteriak. “Tentu saja, Tuan Orlando. Aku akan mencari laki-laki muda yang kaya. Kalau kamu bisa punya kekasih, kenapa aku tidaak? Jangan kamu kira bisa semena-mena padaku!”

Setelah sosok Bianca menghilang, Orlando mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh. Merasa geram karena dipermainkan seorang wanita. Ia berjanji dalam hati, akan menjinakkan istrinya yang makin hari makin terlihat liar dan suka membantah.

Menaiki mobil sport, Orlando menembus jalanan menuju kantor. Pagi ini ada rapat penting dan pikirannya dipenuhi kemarahan tentang istrinya. Di tengah jalan ia menerima panggilan dari Giana, yang menanyakan tentang makan malam bersama, ia menolak karena kebetulan sudah ada janji. Giana tidak merengek, wanita itu mengerti posisinya dan bersikap dewasa, itulah yang membuatnya jatuh cinta. Sayang sekali, kakeknya justru menjodohkannya dengan Bella menggunakan satu alasan yang tidak masuk akal.

“Kamu memerlukan wanita yang akan mendampingi, membimbingmu pada jalan kebahagiaan, dan wanita yang akan menunggu dengan makanan dan pelukan hangat saat kamu pulang kerja.”

Sebuah kata-kata yang ia yakin didapatkan sang kakek dari hasil menonton film atau membaca buku. Karena menurutnya, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Ia suka hubungannya dengan Giana, bebas tanpa ikatan dan saling membutuhkan tanpa tekanan. Jadi, untuk apa pernikahan kalau ia bisa mendapatkan sex dari seorang wanita.

“Orlando, pihak bank menginginkan kita membuat janji temu untuk pendanaan proyek bintang.” Nathan menyambutnya di lorong kantor.

“Hari ini jadwalku penuh, bagaimana kalau besok?”

“Ini penting, memangnya tidak bisa kamu tunda janjimu?”

Orlando menggeleng. “Tidak bisa!”

Nathan mengikuti Orlando hingga masuk ke kantor dan membanting dokumen di atas meja. Tindakannya membuat Orlando kaget tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia meletakkan tas dan membuka laptop, tidak mengindahkan Nathan yang terlihat kesal.

“Memangnya kamu tidak bisa membedakan mana urusan penting dan sangat penting? Kalau bank setuju, kita bisa membuka pabrik baru secepatnya!”

“Aku rasa, bukan hanya pembukaan pabrik baru yang menbuatmu menggebu-gebu ingin secepatnya bertemu dengan pihak pabrik. Tapi ada hal lain yang kamu inginkan Nathan.”

Nathan berkacak pinggang. “Apa yang aku inginkan selain kemajuan bagi perusahaan kita?”

Orlando menatap tajam, tanpa senyum di bibir. “Aliran dana baru untuk membiayai hidupmu!”

Nathan mengedip. Wajahnya merah dengan rahang mengeras. Sesuatu berkilat di matanya dengan tangan mengepal di dalam saku.

“Tuduhanmu terlalu kurang ajar, Orlando!” desisnya tajam.

“Jangan berpura-pura suci, Nathan. Kita sama-sama tahu, seberapa bajingan kita berdua. Ingat, kalau sampai air mata kakak dan ponakanku tumpah karena kamu, aku tidak segan-segan menyeret tubuhmu ke jalanan!”

Ancaman Orlando membungkam penyangkalan yang hendak keluar dari mulut Nathan. Ia menghela napas, berdecak, dan senyum kecil keluar dari mulutnya. “Jangan munafik, Orlando. Kita berdua juga sama-sama tahu kalau kamu sama brengseknya dengan aku. Sudah menikah tapi main gila dengan Giana. Kasihan Bella bukan?”

“Jangan bawa-bawa Bella!”

“Kalau begitu, jangan lagi sebut-sebut keluargaku!”

Orlando bangkit dari kursi, menepuk pundak Nathan dan mencengkeramnya keras. Tidak memedulikan wajah Nathan yang meringis kesakitan.

“Kamu terlalu berani, Nathan. Menikah dengan kakakku tapi bermain mata dengan istriku. Kalau sampai aku menemukan bukti perselingkuhan kalian, bisa kupastikan akan kubunuh kalian berdua!”

“Jangan bersikap jadi suami yang bermoral, Orlando. Tidak pantas!”

Nathan menepiskan tangan Orlando, merapikan pakainnya dan tanpa kata meninggalkan ruangan. Tersisa Orlando yang berdiri dengan geram.

Ia menyukai Nathan, dulu. Karena pemikiran dan cara kerja laki-laki itu yang bagus dan penuh ide-ide luar biasa. Namun, saat ia mendapati kerugian perusahaan karena gaya hidup Nathan yang penuh hura-hura, simpatinya berubah. Sayang sekali, kakaknya mencintai laki-laki itu dan membuatnya kesulitan bergerak.

Rahasia Istri Miliarder (Billionare's Wife Secret)Where stories live. Discover now