Bab 25a

15.7K 1.4K 69
                                    

Orlando tidak tidur semalaman, menghabiskan satu bungkus rokok dan terdiam di ruang kerja. Pikirannya kalut dan tidak menentu memikirkan Bianca. Wanita itu meninggalkan rumah tanpa dompet atau pun ponsel dan ia tidak bisa menghubungi.

Serangan Lidia dan dua anaknya terhadap Bianca, memukul perasaannya. Ia sendiri dibuat kaget oleh kenyataan yang ada tapi bukan berarti tidak bisa menerimanya. Ia tahu dan curiga dari awal kalau istrinya adalah orang lain. Karena terlalu banyak perbedaan mencolok, dan ia tidak buta akan perbedaan itu.

Bagaimana ia bisa menutup mata, saat Bella yang begitu pendiam dan pemalu, berubah menjadi penantang dan pemberontak. Awalnya ia memang mengira, Bella benar-benar hilang ingatan dan membuatnya banyak berubah. Namun, akhirnya menyadari kalau teori itu terlalu berlebihan. Orang bisa saja hilang ingatan tapi tidak mengubah kepribadian. Karena itu, ia mencari tahu dan mendapati kalau yang selama ini menaklukan hatinya adalah Bianca bukan Bella.

Mematikan rokok, Orlando bangkit dari kursi. Berdiri menghadap jendela, dan membuka gorden. Membiarkan sinar matahari menerobos masuk. Ia memikirkan apa yang sedang dilakukan Bianca sekarang. Apakah wanita itu masih menangis karena merasa bersalah? Ia memang sudah menghubungi Antoni dan tahu kalau mereka ada di toko, tapi dari beberapa jam yang lalu, pemuda itu tidak lagi membalas pesannya.

Kalau seandainya, Bianca mengaku dari awal kalau dia bukan Bella, mungkin kejadiannya akan lain. Ia akan menerima Bianca apa adanya, mengatakan pada wanita itu kalau tidak peduli dengan identitas yang sebenarnya. Karena memang menyadari, jatuh cinta dengan Bianca, bukan Bella.

"Kalau suatu hari aku berbuat kesalahan besar, apakah kamu masih mau memaafkanku?"

Pertanyaan Bianca suatu hari pernah mengusiknya. Saat itu, ia mengatakan akan memaafkan apa pun yang diperbuat wanita itu asalkan bukan sesuatu soal menghilangkan nyawa. Tidak tidak berbohong, cinta memang membutakan hatinya. Sampai sekarang, kalau Bianca menanyakan hal yang sama, jawabannya akan tetap sama tanpa ragu.

"Kalau aku jadi kamu, akan melaporkan wanita itu ke polisi. Berani sekali dia menipumu." Lidia berucap keras sebelum pergi. Ia terpaksa mengusir wanita itu dengan dua anaknya karena kehadiran mereka membuatnya kesal. Ia sudah mengatakan berkali-kali, akan mengatasi masalah Bianca sendirian, tanpa campur tangan orang lain tapi mereka memaksa.

"Kami juga orang yang dirugikan. Bella adalah bagian dari keluarga kami, sudah sepantasnya kami mencari keadilan."

Alasan yang diutarakan Jenifer sungguh membuatnya muak. Kalau memang mereka peduli pada Bella, seharusnya mereka mencari tahu apa penyebab Bianca menyamar. Bukan malah mengadili dan menuduh, pada akhirnya membuat wanita itu pergi.

Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai kemarin, Orlando bersandar pada jendela dan memijat pelipisnya. Perasaan kuatir membelitnya, karena Antoni sama sekali tidak merespon pesannya sampai sekarang.

"Bianca, di mana kamu sekarang? Apa yang kamu lakukan. Apakah kamu baik-baik saja?" Orlando bergumam kecil, menatap matahari yang merangkak naik, menerangi bumi.

Ponselnya bergetar, ia bergegas mengambil dari atas meja dan berharap itu kabar dari Antoni. Harapannya salah, karena ternyata panggilan daru Sarah. Ia menerima dengan enggan.

"Iya, Sis."

"Orlando!" Pekikan Sarah terdengar keras di telinganya. Membuat Orlando berjengit. "Kamu tidak lihat berita? Apa kamu tahu apa yang terjadi dengan toko Bella."

"Ada apa, Sis?"

"Toko Bella kebakaran, ada seorang korban ditemukan hangus di dalam toko. Apa Bella tahu—"

Suara Sarah terputus karena Orlando tanpa kata mematikannya. Ia berlari ke arah pintu, menuruni tangga dengan cepat dan memacu kendaraannya menembus jalan raya. Jantungnya berdetak tak menentu dengan dada berdebar keras.

Ia tahu Bianca sedang menginap di toko bersama Antoni. Kebakaran terjadi di sana dan itu membuatnya kuatir. Ia menggebrak dashboard dengan keras, kesal melihat kemacetan di jalan. Sarah kembali menelepon dan ia menjawab cepat.

"Sis, Bianca menginap di sana semalam. Cepat ke sana dan kita bertemu di sana!"

"Bianca siapa?" Suara Sarah terdengar bingung.

"Nanti aku jelaskan. Cepat, kamu ke sana!"

Setelah menerjang kemacetan selama hampir 40 menit, akhirnya Orlando tiba di toko. Sepanjang jalan ia mencoba menelepon Antoni dan mendapati ponsel pemuda itu mati. Ia juga menghubungi Federick, memintanya bertemu di toko.

Saat tiba di sana, sudah ada Sarah dan Federick yang berdiri di halaman toko dan menatap bangunan yang sudah menjadi puing-puing. Sarah menyongsong Orlando dan bertanya cemas. "Mana, Bella? Kenapa kamu datang sendiri?"

Orlando mengabaikanya, menghampiri petugas kebakaran dan seorang polisi. "Bagaimana, Pak. Apa ada korban jiwa?"

Petugas itu menatapnya. "Siapa Anda?"

"Aku suami dari pemilik bangunan ini."

Menghela napas panjang, petugas itu menunjuk ke arah kantong mayat di dalam ambulan. "Kami akan membawanya ke rumah sakit untuk diautopsi. Satu korban adalah wanita. Ini sisa gaun yang dipakainya."

Orlando terperangah, saat mengenali gaun yang ditunjukkan dari kamera. Begitu pula Sarah yang sedari tadi berdiri di sampingnya.

"Itu gaun, Bella. Orlandooo! Itu gaun Bella!"

Memejam, Orlando mengangguk pelan. "Iya, Sis. Itu gaun Bella."

"Ba-bagimana mungkin." Sarah menatap liar ke arah mobil Orlando dan mengguncang tubuh adiknya. "Kenapa kamu datang sendiri. Di mana Bella?"

"Dia tidak ada."

"Apa maksudmu tidak ada Orlando. Apa maksudmuu!"

"Sis, tenang dulu!" Orlando melepaskan cengkeraman Sarah dari bahunya.

"Bagaimana aku bisa tenang kalau ada wanita mati memakai gaun Bella. Sedangkan kamu bilang kalau Bella tidak ada. Bagaimana aku bisa tenaaang!"

** 

Tersedia di google playbook

Rahasia Istri Miliarder (Billionare's Wife Secret)Where stories live. Discover now