NICHO - 27

64.9K 5.7K 105
                                    

Sembari menunggu lama kelamaan tempat tunggu mulai sepi. Sebagian murid yang menunggu sudah banyak yang dijemput. Tinggal Vanya dan dua gadis yang duduk mengobrol bersama temannya.

Teman Vanya sudah pulang semua. Sempat dirinya diajak tapi ia tolak karena sopirnya yang memang sudah di jalan.

Kakinya bergerak gelisah lantaran tinggal dirinya seorang yang berada di sini. Dua gadis itu sudah dijemput kendaraan pribadinya. Karena makin sepi Vanya berpindah ke halte bus yang sedikit orang duduk di sana.

Mungkin sekarang ia bisa pulang dengan bus. Ponsel di genggamannya sudah habis baterai ini salahnya yang tidak membawa powerbank sebab hari Rabu biasanya pulang sebentar dan ternyata salah karena ada kunjungan dari mahasiswa yang sedang promosi beberapa universitas.

Perutnya sudah berbunyi. Jam berwarna coklat susu di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul setengah dua biasanya bus datang sepuluh menit kemudian.

Atensi Vanya teralihkan ke suara anak kecil yang merengek ke ibunya. Vanya masih memperhatikan gerak-gerik keduanya sang anak yang terus merengek sambil menunjuk gerobak permen kapas dan si ibu yang terus melarang katanya si anak kecil itu baru saja ke dokter gigi jadi tidak diperbolehkan makan manis-manis lebih dulu.

Mengingat masa kecilnya Vanya pernah seperti itu tetapi ia tidak merengek malah ia mengambil uang sang mama diam-diam lalu pergi berlari keluar rumah demi semangkuk es krim. Dengan bangganya ia membawa mangkuk yang diambil dari meja ke dalam rumah, tidak lupa ia memamerkannya. Dan, saat itu dirinya langsung demam empat hari.

Vanya terkekeh kecil. Kalau dulu ia tidak tahu menahu tentang karma. Namun, sekarang ia tahu kalau demamnya itu karma karena telah mengambil uang tanpa izin ke mamanya.

Terlalu lama melamun sampai tidak sadar kondisi sekitar yang sudah mulai sepi. Di sini hanya ada dirinya dan beberapa kendaraan yang melintas.

Vanya menoleh ke kanan dan kiri. Melihat bus yang melaju membawa penumpang membuatnya mendesah frustrasi. Wajahnya ditekuk masam.

Lima menit menunggu sampai pukul dua pas kendaraan umum bus belum melintas di depannya. Ia menoleh ke papan yang ditempeli kertas jadwal keberangkatan dan kedatangan bus. Dan, ternyata tadi adalah bus terakhirnya.

"Sial, sial, sialan, bego bener lo, Vanya. Terus sekarang gimana mau pulang? Jalan kaki lagi kayak dulu? Terus kecipratan lagi gitu?" cerocosnya dengan kuku yang digigit. Itu tandanya ia bingung. Seperti setrikaan Vanya terus mondar-mandir tidak memperdulikan tatapan aneh pengendara jalan.

Ia berhenti lalu menatap gerbang megah sekolahnya. "Ada yang ekstrakurikuler, gak, ya?" Monolognya. Barangkali ada salah satu teman atau siswa yang ia kenal lalu meminta dia mengantarnya pulang.

Vanya menggeleng dan menghentakkan kakinya kesal. Ponselnya yang mati membuatnya tidak dapat memesan ojek online atau sekadar menelepon Nicho.

"Aduh, duh, kok sekolahnya udah sepi, sih, gue gimana dong?!"

Kuku dan bibirnya tidak lepas dengan gigitan kecilnya.

"Gue jalan kaki lagi terus ketemu preman lagi? Ogah bener. Coba ketemu cogan, astaghfirullah pasti enak."

Omongan Vanya semakin ngelantur.

Suara klakson mengejutkannya sampai ia lompat kecil. Tatapannya berubah tajam dan menghunus mobil putih itu. Pikirannya mulai menerawang kalau di dalamnya ada penculik.

Vanya sudah bersiap-siap kabur sebelum suara yang amat ia kenal membuatnya membalikkan badan. Pupil matanya melebar, senyumnya mengembang. Sepertinya, doanya dikabulkan.

"Nicho!" seru Vanya lantang dan berlari ke arah Nicho yang masih terbalut kemeja kantor yang lengannya sudah digulung sebatas siku.

Nicho merengkuh tubuh Vanya. Lengannya melingkar sempurna di pinggang ramping gadisnya. Ia sedikit menunduk memberikan kecupan singkat di pucuk kepala.

Rasanya Nicho ingin membuang mobilnya sekarang. Kekhawatirannya ternyata benar kalau Vanya masih berada di sekitar sekolah. Akibat macet tadi dirinya terlambat lima belas menit.

"Maaf, maaf, maaf." Nicho mengulang kata-kata itu terus menerus. Jantungnya berdetak kencang dan cepat.

Vanya yang menempel di dada Nicho terkekeh kecil dan memukul sedikit punggung lebar tunangannya. Ia menyahut, "Udah, gak apa-apa."

"Besok gak usah sekolah. Ikut aku ke kantor aja atau nggak besok aku libur sehari. Atau kita nikah aja?"

Mendengar pertanyaan Nicho Vanya tidak dapat menghentikan tawanya dan juga cubitan di perut.

NICHO ✓Where stories live. Discover now