NICHO - 31

65.7K 5.3K 46
                                    

Suara yang tidak tahu datang dari mana membangunkan dirinya yang asik bermimpi. Gadis itu meregangkan badannya yang kaku dan pegal-pegal di area tertentu. Matanya masih terpejam seolah enggan dibuka, dengan kepala menempel lengket di bantal, satu kaki memeluk guling yang wangi maskulin dan lembut.

Nyawa masih setengah. Setengahnya belum kembali, otaknya juga masih ikut andil menyuruh tidur kembali tetapi dirasa tempatnya sekarang spontan ia membuka mata.

Pening langsung menyerang seperti migran di sisi kepalanya. Karena terlalu tiba-tiba bangun kepalanya yang menjadi korban. Telinganya juga berdengung, suara aneh bercampur.

Seperti orang sehabis kecelakaan itu yang dirasakan Vanya.

Tangannya memegang sisi kepala dan yang satunya memeluk erat guling yang berada di atas dadanya. Netra coklat indah itu tertutup kembali setelah sudah agak mendingan ia membuka mata dan mengelus dada.

Dengan malas ia menarik tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Matanya menyipit akibat silau dari lampu yang seperti menyorot dirinya.

Vanya menoleh ke kanan dan kiri. Pupil matanya membesar, ia menoleh ulang ke kanan hampir jantungan mendapati Nicho yang berada di sofa tengah mengutak-atik laptop di pangkuannya itu.

Gadis itu merangkak ke sisi ranjang yang dekat dengan Nicho. Rupanya cowok itu sadar dengan pergerakan Vanya. Laptop yang semula berada di pangkuan berpindah ke meja.

Sweater abu-abu melekat sempurna di tubuh tinggi dan tegap Nicho yang semakin terlihat mempesona. Rambutnya juga setengah kering, yang basah banyak yang berjatuhan.

Laki-laki itu menarik lengan sweater lagi sampai sebatas siku. Vanya dengan serius melihat semua gerak-gerik Nicho.

"Bayi aku udah bangun, hm? Enak?" Godanya dengan nada bercampur gemas. Dengan santai dan tidak kesusahan Nicho membawa Vanya masuk ke dalam rengkuhannya.

Seperti tadi ia menggendong Vanya seperti koala. Vanya memeluk pinggang dan leher Nicho dengan erat.

Punggungnya yang dielus mengundang hawa kantuk. Kepala yang terangkat itu sudah jatuh ke bahu menghadap rahang tegas Nicho. Ia sedikit memukul punggung Nicho. "Jangan dielus. Bikin ngantuk, Nicho."

Kendati berhenti malah semakin gencar membuat bayinya kembali tertidur. Vanya merengek kesekian kali tetapi Nicho seolah menebalkan telinga.

"Besok libur aja. Temenin aku ke kantor."

Vanya diam dan mendengarkan setiap perkataan Nicho. Tampak menimang dulu, ia membalas, "Males. Pasti nanti bosen."

Nicho menggelengkan kepala. Sembari membuka pintu pembatas kamar dengan luar ia melangkah mendekati pagar balkon. Sedikit ia menurunkan badan gadisnya sampai duduk di pembatas, kedua tangannya masih memeluk jadi aman dan tidak bakal jatuh. Kalaupun jatuh pasti barengan.

Cowok itu mengeratkan pelukannya saat angin malam berembus kencang. "Gak bakal bosen. Di sana ada mainan," ujarnya seraya melonggarkan pelukannya.

Vanya memberengut. "Aku bukan anak kecil, ya." Protesnya.

***


Pagi-pagi buta Vanya membangunkan Nicho yang telungkup dengan tubuh bagian atas shirtless. Punggung serta bahu lebarnya dijadikan permukaan rebahan Vanya.

"Ayo, bangun, Nicho? Jangan merem mulu. Enggak capek, apa?" cerocosnya dengan kesal. Tangannya menoel pinggang Nicho.

Perutnya di dekap saat suara aneh datang. Tanda lapar. Semalam Nicho tidak memberinya makan apapun. Dia mengurung dirinya di kamar sampai pagi buta baru Vanya merasakan kembali laparnya.

Setiap tiga menit suara itu datang. Vanya sudah tidak tahan perutnya juga melilit. Sejurus kemudian tepukan keras dan jeritan mengisi keheningan kamar.

"Laper, laper, laper, mau makan Nicho?!" jerit Vanya secara brutal memukul kuat punggung Nicho setelah turun dari atasnya.

Nicho merintih sakit juga terkejut. "Aw, iya, iya makan. Ben—oke makan!" Finalnya.

Wajah bantal terlihat jelas. Nicho mengusap wajah dengan kasar. Ia berbalik dan menangkap tangan kecil Vanya yang masih memukulnya itu.

NICHO ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang