Nerd | 17

53.4K 6.2K 158
                                    

“Assalamu’alaikum,” ucap Leta sambil mengetuk pintu.

“Wa’alaikumsalam,” sahut wanita paruh baya yang membuka pintu rumahnya, wanita paruh baya itu tersenyum melihat kedatangan Leta.

“Eh, ada nak Leta, sini masuk,” ujar wanita itu menyuruh Leta masuk. Namun, belum sempat kakinya melangkah masuk, dirinya dihadang oleh lelaki berbadan jangkung di depannya.

“Ngapain ke sini?” tanya lelaki itu.

“Bang, kamu kenapa sih?” tanya wanita paruh baya pada lelaki itu yang tidak lain adalah anak pertamanya.

“Ibu masih ngizinin dia masuk ke rumah, setelah dia udah ngebunuh Ara?” Leta langsung menundukkan kepalanya. Pembunuh, ya, kata itu tepat sekali untuk dirinya.

Wanita paruh baya itu melihat perubahan ekspresi Leta dan langsung menghampirinya. “Jangan dengerin omongannya Dava yah,” ucapnya sembari mengelus pundak Leta.

“Bang, nggak ada pembunuh di sini. Ara meninggal memang karena sudah takdirnya, nggak ada yang perlu disalahin.” Dava-lelaki itu berdecih, dia adalah kakak Ara. Sejak kematian Ara, Dava selalu menyalahkan Leta atas kematian adiknya, Dava berpikir jika Leta lah penyebab kepergian adiknya itu.

“Tapi Bu, kalo aja nih cewek nggak nyuruh Ara masuk ke sekolah itu, pasti Ara masih hidup saat ini. Dia ninggalin Ara sendirian di sekolah itu, secara nggak langsung dia lah yang membuat Ara meninggal.” Lagi-lagi ucapan Dava membuat Leta serasa tertampar.

Ibu Dava hendak menjawab ucapan putranya itu, namun Leta memegang tangannya dan menggeleng pelan.

“Apa yang dikatakan Bang Dava bener kok tan, aku emang yang nggak sengaja ngebunuh Ara. Maaf kalo kedatangan aku malah bikin kalian nggak nyaman, aku pamit pulang dulu,” ucap Leta berlalu pergi, wanita paruh baya itu melihat punggung Leta yang semakin menjauh dengan tatapan prihatin. Dia tidak menyalahkan Leta atas kepergian putrinya, dia percaya bahwa semua ini memang takdir Tuhan untuk putrinya.

Leta berjalan gontai, dia merasa tidak bersemangat untuk hidup. Ucapan Dava sangat menamparnya, dia benar-benar sangat terpukul dengan ucapan Dava tadi. Dia menghela napasnya sembari sesekali terisak.

Dadanya benar-benar sesak, andai dulu dia tidak pernah menyuruh Ara untuk bersekolah di sekolahan milik kakeknya, andai dia tidak menuruti ucapan neneknya yang menyuruh dirinya untuk bersekolah ke luar negeri dan meninggalkan Ara. Andai...

“Ara, maafin gue, hiks,” ujarnya sembari terisak. 

Leta terus melanjutkan langkah kakinya, sampai dia melihat taman di dekat danau. Kakinya membawanya untuk menuju ke sana, dia mendudukan dirinya di salah satu bangku. 

Dia menunduk, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai terisak kembali. Dia tidak peduli banyak orang yang memandang dirinya dengan tatapan aneh, dia hanya ingin menangis sekarang. Kepergian sahabatnya-Ara masih sangat membekas di hatinya.

Belum banyak yang dia lakukan dengan sahabatnya itu. Mereka berdua pernah berjanji akan menjadi sahabat sampai tua nanti, bahkan berniat untuk membangun rumah yang berdekatan agar bisa menjadi tetangga. Tapi, sekarang semua rencana-rencana itu harus hancur.

***

Prang...

Suara itu lagi, Devin sudah hafal. Ini pasti kedua orang tuanya yang sedang berselisih, dia yang sedang bermain game online merasa terganggu dan memilih untuk turun ke bawah.

Dia melihat kedua orang tuanya sedang berdebat, pemandangan yang sudah biasa Devin lihat sejak kecil. Dia heran, kenapa orang tuanya itu selalu berdebat, dia benci ini.

NERDWhere stories live. Discover now