Nerd | 41

42.1K 4.9K 68
                                    

“Udah puas?” Leta langsung tersenyum mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis di depannya yang tak lain adalah Citra.

Leta mendekat kemudian berbisik, “Belum, gue lebih puas kalo lo hilang dari dunia ini.” Leta memundurkan tubuhnya lagi. Sementara Citra menatap tidak percaya pada gadis di hadapannya.

“Kenapa? Kaget, denger gue ngomong pake lo-gue?” tanya Leta seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Citra saat ini.

Citra berdecih. Sial, rasanya sangat memalukan dipermalukan seperti tadi. Mau bagaimana lagi, Citra harus melakukan itu jika dirinya ingin selamat dari sang ayah.

Leta mengancam Citra untuk meminta maaf di depan semua orang, jika tidak melakukan itu. Leta akan mengirimkan video ketika Citra sedang menyiksanya kepada ayahnya.

Tentu saja Citra tidak akan membiarkan itu terjadi, jadi tidak ada jalan selain meminta maaf di depan umum.

“Gue nggak peduli. Tapi lo jangan seneng dulu karena udah permaluin gue, gue lakuin ini karena gue nggak mau bokap gue harus turun tangan. Dan jangan kira gue bakal berhenti buat ganggu lo!” Tawa Leta langsung meledak mendengar itu semua.

Leta mengusap sudut matanya yang sedikit mengeluarkan air mata akibat tertawa. “Silahkan, lo lanjutin  aja buat gangguin gue. Setelah itu, gue pastiin orang-orang bakal jauhin lo. Semua akan tau kalo lo bukan putri tunggal dari CEO perusahaan taksi yang terkenal itu.”

Leta langsung tersenyum puas melihat raut wajah Citra yang langsung memucat.

“A-apa maksud lo hah?!”

“Lo nggak paham dari perkataan gue tadi? Lo bukan anak pemilik perusahaan taksi, kan?” Bisa Leta lihat jika Citra menelan ludahnya gugup.

“Lo boleh gangguin gue selamanya. Tapi inget, saat itu juga bokap lo bakalan kehilangan pekerjaannya.”

“Heh! Nggak lucu lo ya. Kenapa harus bawa-bawa orang tua?!” Leta hanya mengangkat bahunya, tersenyum menanggapi gadis di hadapannya.

“Bener-bener licik lo.”

“Maaf Cit, aku bener-bener minta maaf. Aku nggak ada niatan buat nyuruh kamu minta maaf di depan umum. Aku salah, tolong maafin aku. Jangan pukul aku lagi.” Citra yang hendak menjambak rambut Leta, mendadak berhenti. Heran dengan perubahaan sikap Leta.

“Gue kira si Citra minta maaf beneran, tapi ternyata masih jadi tukang bully.”

“Bener. Pembully akan selamanya jadi tukang bully.” Citra menoleh ke arah kedua gadis yang baru saja membicarakannya.

Tersenyum, dia tahu alasan mengapa Leta bersikap seperti itu.

“Sekarang terserah lo. Lo tau kalo adik-adik lo masih butuh duit dari bokap lo, kan. Jangan sampai karena sikap bodoh lo, mereka semua jadi kelaparan. Inget, gue bisa buat bokap lo kehilangan pekerjaannya detik ini juga.”

Tangan Citra menggenggam erat, sorot matanya menatap Leta dengan penuh emosi. Napasnya terlihat sangat naik turun.

“So, you think it’s cool to bully me? Lo nggak tau apapun tentang gue. Sekarang, gue akan memegang tangan lo. Dan akan gue tunjukkan bagaimana rasanya hidup di dunia yang berbeda, di mana semua kebencian ditujukan ke lo!”

“Kaki jenjang lo, kalo gue buat kaki lo jadi seperti kaki gue kemarin. Kayaknya menarik ya.” Mendengar itu, sontak Citra langsung mundur satu langkah dari Leta.

“Dari awal lo salah nyari lawan, Cit,” bisiknya. Leta tersenyum smirk, kemudian melenggang pergi meninggalkan Citra yang masih terdiam di tempat tadi.

***

Setelah mendapatkan hukuman yang konyol, membersihkan kolam renang. Akhirnya Devin terbebas sekarang, dia melangkah hendak menuju toilet cowok. Namun matanya menangkap sosok gadis yang mencuri perhatiannya.

“Leta!” panggilnya tak mendapat respon.

“Woyy, Ta!” Devin hendak mengejar Leta namun panggilan alamnya seolah meminta untuk didahulukan.

Dia pun memilih untuk memasuki toilet cowok dan memenuhi panggilan alamnya terlebih dahulu.

Setelah keluar dari toilet, Devin menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok Leta. Dia bingung harus mencari gadis itu ke mana. Dan pilihannya jatuh ke rooftop.

Benar saja sesuai dugaan Devin. Leta berada di rooftop, lebih tepatnya di tembok pembatas.

Bisa dilihat jika tatapan gadis itu kosong, entah apa yang berada di pikirannya. Devin melangkah pelan mendekat.

“Ta.” Leta sedikit terlonjak mendengar suara Devin, menoleh menatap lelaki itu.

Melihat Devin berada sedekat ini dengan dirinya membuat Leta melangkah mundur satu langkah, sebisa mungkin menjaga jarak dengan lelaki itu.

“Lo nggak papa, kan?” pertanyaan itu lantas membuat Leta mengerutkan dahinya.

“Apanya?”

Devin sedikit mengangkat bibirnya. “Bukan apa-apa.” Leta mengangguk. Detik berikutnya, Devin merutuki dirinya sendiri. Mengapa dirinya tidak bisa mengeluarkan kalimat yang sudah dia susun sebelumnya?

Padahal banyak sekali pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada gadis itu, seperti mengapa Leta tidak masuk sekolah selama dua minggu, apakah keadaannya selama dua minggu itu baik-baik saja, dan masih banyak lagi pertanyaan yang ingin Devin keluarkan.

Namun tiba-tiba saja bibirnya kelu.

Saat hendak mengeluarkan suaranya lagi, tiba-tiba ponsel Devin berdering menandakan adanya pesan yang masuk.

Dia pun langsung merogoh benda pipih itu di saku celananya, lalu melihat siapa pengirim dan isi pesan itu.

Raut wajahnya langsung berubah ketika melihat isi pesan itu, sebuah video rekaman. Video rekaman yang memperlihatkan dirinya.

Tangannya gemetar, saking gemetarnya. Ponsel di tangannya pun hendak jatuh jika saja Leta tidak dengan sigap menangkap ponsel Devin.

Raut wajah Devin terlihat pucat, dia menatap Leta dengan cemas. Sementara Leta, diam-diam tersenyum kecil melihat perubahan wajah Devin.

Devin langsung merebut ponselnya yang berada di tangan Leta, dan detik itu juga Devin langsung pergi dari hadapan gadis itu tanpa mengatakan satu kata pun.

Leta menatap punggung Devin yang semakin menjauh, entah apa yang dia rasakan saat ini. Sangat tidak jelas.

“Gue berharap bukan lo pelakunya, Vin,” gumamnya.











Tbc...



NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang