Nerd | 39

39.3K 4.7K 16
                                    

Plakk

Leo menunduk tak berani mengangkat wajahnya, matanya kian panas. Tangannya mengepal keras. Terlihat napas orang yang baru saja menampar wajahnya sedikit terengah.

“Leo, kenapa?” Leo tak menjawab. Jangankan menjawab, menatap wajah orang itu pun dia merasa tak sanggup.

“Telingamu masih berfungsi dengan baik, kan?” Leo hanya bisa mengangguk lemah.

“Lalu, kenapa bisa Leta masuk ke rumah sakit seperti ini, hah?! Kamu ke mana? Kenapa tidak menjaga Leta, mana janjimu yang akan terus jagain dia?”

“Maaf.” Hanya kata itulah yang mampu keluar dari mulut Leo. Dia masih menunduk tak berani menatap orang di hadapannya yang tak lain adalah daddy-nya.

Leta melengos, membuang napasnya kasar. Dia benar-benar jengah melihat Leo yang terus menerus dimarahi oleh daddy-nya.

Ya, sejak daddy-nya mendengar bahwa dirinya dirawat di rumah sakit. Daddy-nya yang sedang berada di luar kota karena urusan bisnis langsung menunda kepentingannya dan kembali untuk menemui Leta.

“Daddy bisa berhenti?” Daddy menatap Leta sebentar.

“Jangan salahin Leo terus dad, aku kayak gini bukan karena salah dia. Ini karena memang aku yang teledor.”

“Tapi kalau Leo selalu di sampingmu, seteledor apapun kamu pasi hal ini nggak akan menimpamu, Ta.”

“Dad, bisa nggak sih, jangan nyalahin Leo terus.” Leta menarik napasnya dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. “Daddy pernah nggak mikirin mikirin perasaan Leo yang selalu disuruh-suruh sama Daddy buat jagain aku? Pernah nanya sama Leo kalau dia butuh dijagain juga apa nggak.”

“Kamu ngomong apa sih, Ta? Semua yang Daddy lakuin selama ini buat kebaikan kamu. Lagian sudah sepantasnya seorang kakak jagain adiknya.”

“Oke, kalau selama ini Daddy lakuin semua buat aku. Kalau segitu khawatirnya Daddy sama aku, kenapa nggak Daddy yang langsung turun tangan buat selalu di samping aku. Kenapa Daddy nyuruh Leo? Leo juga masih anak-anak kayak aku.”

“Daddy tau nggak? Leo juga punya kehidupannya sendiri. Dia juga harus ngelindungin dirinya sendiri, Leo nggak bisa 24 jam full selalu jagain aku. Daddy kenapa sih selalu nuntut Leo? Pernah nggak, Daddy mikirin perasaan Leo? Hidup Leo sepenuhnya dikendalikan Daddy.”

Terdapat jeda sebentar sebelum Leta melanjutkan ucapannya. “Daddy selalu nuntut Leo untuk terus jadi peringkat pertama karana Daddy pengin Leo jadi dokter terus bisa mewarisi Rumah Sakit milik Kakek, kan? Daddy takut kalau aku ini bodoh, makanya Daddy nyuruh Leo melakukan itu. Daddy takut Rumah Sakit itu jatuh ke tangan adiknya Daddy, sementara Daddy nggak bisa jadi pewaris Rumah Sakit karena Daddy sibuk ngurus perusahaan Daddy sendiri.”

“Ta, lo ngomong apa sih?!” bentak Leo menatap kembarannya. Lewat tatapannya, Leo menyuruh Leta untuk tidak melanjutkan ucapannya.

“Gue tau selama ini lo tersiksa sama kelakuan Daddy. Sebenarnya lo juga punya mimpi sendiri, tapi karena keegoisan Daddy, lo sampingkan mimpi lo itu. Apa lo pengin hidup lo selalu dikendalikan sama Daddy?”

Leo memjamkan matanya erat, kemudian membukanya kembali. “Leta! Gue bilang berhenti!”

“Kenapa? Lo juga pengin terbebas dari tuntutan Daddy selama ini kan? Gue tau selama ini lo tersiksa. Gue tau setiap kali lo teledor jagain gue, lo pasti dapat hukuman dari Daddy. Gue tau setiap malam lo susah tidur karena harus terus belajar buat mertahanin nilai lo. Lo nggak capek selama ini? Gue yang lihat aja capek, Le.”

“Ta, gue mohon. Berhenti, jangan bicara lagi,” ucap Leo memohon.

“Nggak! Gue nggak rela kalo cuma lo yang ngerasain semua itu sendiri. Daddy harus tau apa yang udah lo alami selama ini.”

Daddy memandang Leo yang terus saja menunduk. “Leo, apa yang Leta katakan barusan itu benar?” Tak ada jawaban dari Leo, hal itu membuat daddy menghela napas panjang.

“Kalian berdua istirahat saja. Daddy mau pulang sebentar.”

***

Devin menuruni tangga, setelah tiga hari harus berada di rumah sakit. Akhirnya, hari ini dia bisa beraktivitas seperti biasanya lagi.

Senyum selalu terpancar di wajahnya, dia tidak sabar bertemu dengan seseorang yang selalu berada di pikirannya.

Devin langsung menghentikan langkahnya ketika melihat sosok yang tengah menatapnya dengan senyum dari arah dapur. Dia langsung berjalan cepat menghampiri.

“Mama?”

Mamanya tersenyum, menyuruh Devin untuk duduk.

“Selamat pagi, Devin.” Sapaan singkat itu terasa menghangatkan hati Devin.

“Sini, sebelum berangkat kamu harus makan dulu. Mama udah buatin makanan kesukaan kamu.” 

Devin hampir saja mengucapkan rasa syukurnya, sebelum mamanya berkata, “Kamu makan sendiri ya, Mama harus buru-buru ke kantor.”

Perkataan mamanya langsung membuat senyum Devin luntur. “Padahal aku berharap Mama bisa di sini temenin Devin makan,” ucapnya lirih.

Mamanya menghentikan langkahnya ketika mendengar itu, dia menarik napas dan kembali ke Devin.

“Vin, Mama temenin kamu makan. Kamu makan yang banyak ya,” ucapnya duduk di samping Devin. Kemudian mengambilkan nasi dan beberapa lauk di atas piring untuk Devin makan.

“Makan Vin, cobain masakan Mama.” Devin masih tidak menyangka jika Mamanya benar-benar berubah seperti itu.

Menuruti perkataan mamanya, Devin pun mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Dia tak bisa berhenti tersenyum menikmati masakan mamanya. Devin benar-benar bersyukur bisa menikmati semua ini.












Tbc...

NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang