Nerd | 26

45.6K 5.5K 197
                                    

Hari ini seluruh murid di SMA Antariksa di pulangkan lebih awal, alasannya karena para guru akan mengadakan rapat yang membahas tentang ujian semester yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.

“Mau langsung pulang atau main dulu nih?” tanya Adriel kepada ketiga sahabatnya yang tengah berjalan bersama menuju parkiran.

“Main ke mana? Nggak ada tempat yang seru kan,” sahut Ferdi yang disetujui oleh Leo dan Devin. Ngomong-ngomong, hubungan Devin dan Leo sudah tidak sedingin kemarin karena Leo sudah meyakinkan Devin jika dirinya tulus peduli pada Leta sebagai teman tanpa ada perasaan sebagai lawan jenis.

“Ke rumah gue aja gimana?” tawar Adriel

“Nggak!” seru ketiga sahabatnya sembari menggelengkan kepala kompak. Adriel langsung memajukan bibirnya.

“Lohhh, kenapa? Rumah gue kekecilan buat nampung kalian, ya? Oke, nanti gue bilangin sama bokap biar rumah gue di renovasi biar lebih besar lagi. Emm, emang si menurut gue juga rumah gue nggak pantas disebut rumah, pantasnya disebut gubug reyot.”

“Heh! Rumah lo itu udah gede banget, buat nampung satu rt aja muat,” sahut Devin memukul kepala Adriel.

“Ya terus kenapa nggak mau ke rumah gue?” tanya Adriel mengusap kepalanya yang terasa berdenyut akibat pukulan yang dilayangkan oleh Devin.

“Karena rumah lo kegedean, terakhir kali waktu gue main ke rumah lo. Gue yang niatnya mau keluar malah nyasar ke kolam renang, nggak mau lagi gue main ke rumah lo.”

“Bener banget,” sahut Leo membenarkan ucapan Devin.

“Terus ke mana? Masa langsung pulang?” tanya Adriel dengan wajah yang terlihat frustasi.

“Ke rumah lo aja gimana Vin? Ortu lo nggak di rumah kan?” Devin langsung melirik ke arah Leo dan detik berikutnya mengangguk.

“Emang ortu gue pernah di rumah?” Devin tersenyum kecut.

“Ya udahlah yok, gasss.” Adriel langsung mengarahkan kakinya menuju motor. 

Devin menghentikan langkahnya saat melihat gadis berkacamata yang tengah berdiri di parkiran, terlihat seperti sedang menunggu seseorang. Tunggu, menunggu seseorang? Apa mungkin Leta menunggu dirinya? Aish, berpikir seperti itu membuat sudut bibir Devin berkedut.

“Bentar ya,” ucap Devin berlari menghampiri Leta. Ketiga sahabatnya langsung mengikuti arah langkah Devin.

Saat ini Leta tangah berdiri di parkiran, menunggu temannya yang bernama Sherin. Berhubung hari ini sekolah dipulangkan lebih awal, Sherin mengajak Leta ke rumahnya dan Leta langsung menyetujuinya. Tapi Sherin bilang jika kunci mobilnya ketinggalan di kelas dan dia pun mengambilnya. Alhasil, Leta menunggu seorang diri di parkiran.

“Udah lama nunggunya ya?” Leta yang tengah bermain ponsel langsung menoleh ke arah sumber suara. Bisa dia dapati seorang laki-laki tengah berdiri di sampingnya.

“Ta? Lo nungguin gue kan?” Kening Leta langsung mengerut mendengar kalimat itu.

“Berhubung lo nunggunya udah lama, gimana kalo kita langsung pergi sekarang. Tapi gue nggak langsung nganterin lo pulang, kita ke rumah gue dulu, main. Sama teman-teman gue yang lainnya kok.”

Leta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Emm, Vin. Maaf, aku nggak nunggu kamu kok. Aku mau pulang bareng Sherin, sekalian main ke rumahnya.” 

“Lo lupa sama permintaan gue kemarin, kalo lo harus pulang bareng gue?”

“Aku inget. Tapi hari ini aku nggak bisa pulang bareng kamu, aku udah janji sama Sherin buat bareng sama dia.” Bisa Leta lihat perubahan raut wajah Devin sangat berbeda dari beberapa detik sebelumnya.

“Ta, maaf lama ya. Gue tadi lupa naruh kunci mobil gue di mana,” ucap Sherin yang sudah berada di tengah-tengah mereka berdua.

“Aku duluan yah Vin,” ucap Leta langsung menyeret Sherin pergi dari hadapan Devin.

Devin, dia menatap tidak percaya pada gadis yang baru saja menolak ajakan pulangnya. Kenapa? kenapa bisa ada seorang gadis menolak ajakannya? Sial, harga dirinya seakan terinjak sekarang.

“Gue baru aja diabaikan sama cewek modelan kaya Leta?” Devin berdecih.

“Aww. Neng Leta, tega-teganya kamu nolak ajakan pulang bareng mamas Depin. Hati mas Depin sakit Neng.” Teriakan yang keluar dari mulut Adriel mengundang gelak tawa Leo dan Ferdi. Sementara Devin menatap tajam ke arah tiga sahabatnya.

***

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih duapuluh lima menit, akhirnya Leta sampai di kediaman temannya yang bernama Sherin. Dan saat ini, dia berada di kamar temannya itu. Hal pertama yang ada di pikiran Leta saat pertama masuk ke dalam kamarnya adalah, Sherin adalah gadis yang feminim dilihat dari nuansa kamarnya yang serba pink.

“Lo masuk aja dulu ya, gue ke bawah mau ambil minum sama makanan ringan sebentar.” Leta mengangguk dan melangkahkan kakinya masuk. Dia menelusuri kamar itu, dan gerakannya terhenti saat melihat sebuah foto yang tergeletak di atas lantai.

Tanpa ragu Leta langsung mengambil foto itu dan mengamatinya. Di dalam foto itu terdapat dua gadis kecil yang saling merangkul dan tersenyum ceria. Leta yakin jika itu adalah foto Sherin saat masih kecil, tapi siapa gadis kecil yang disebelahnya? Setahunya, Sherin tidak mempunyai saudara perempuan dan kenapa gadis kecil itu terlihat familiar di mata Leta?

Leta langsung menjatuhkan foto itu ketika dirinya mendengar suara teriakan yang cukup keras. Dia berjalan pelan keluar dan mengikuti arah suara tersebut.

“Pokoknya, kali ini kamu harus dapat nilai sempurna, peringkat satu! Nggak ada tapi-tapian, kalahkan Leo dan Ferdi.”

“Pa, aku udah berusaha. Tapi tetep aja nggak bisa ngalahin mereka berdua, aku nggak bisa. Papa bisa nggak sih jangan maksa aku terus, aku capek Pa.”

“Heyy, nggak bisa kamu bilang? Waktu SMP aja kamu bisa peringkat satu terus, kenapa sekarang nggak bisa? Capek? Kamu bilang kamu capek? Lihat Papa, apa Papa pernah capek selama ini Rin? Dari kecil Papa selalu jualan bantu Kakekmu setelah pulang sekolah, lalu malamnya belajar, selalu berusaha untuk jadi peringkat satu, dan lihat sekarang? Papa bisa bangun perusahaan yang besar sekarang. Papa nggak capek kok Rin.”

“Kamu, kamu hanya Papa suruh buat jadi peringkat satu, apa susahnya sih?! Apa yang akan kamu banggakan selain nilai hah?” Sherin langsung menunduk tak berani menatap Papanya.

“Iya Pa, aku akan belajar lebih keras lagi.”

Sial, rasanya Leta ingin pergi dari sini sekarang juga. Dia merasa tidak sopan karena telah mendengar pembicaraan Sherin dan ayahnya. Leta berniat untuk kembali ke kamar namun ucapan yang keluar dari Papa Sherin menghentikan langkahnya.

“Ingat! Sainganmu sudah berkurang sekarang. Harusnya kamu lebih mudah untuk jadi peringkat satu.”

“Pa.”

“Kenapa? Papa benar bukan? Dia adalah saingan terkuatmu, dan sekarang gadis itu sudah tiada. Manfaatkan kematian gadis itu sebaik mungkin karena sainganmu sudah berkurang sekarang.” Sherin hanya mengangguk lemah.

Kematian gadis itu? Apa yang dimaksud papanya Sherin adalah kematian Ara?












Tbc...

NERDWhere stories live. Discover now