Nerd | 32

42.8K 4.7K 15
                                    

Sambil duduk santai di atas motornya, Devin ber high-five dengan beberapa rekan jalanannya.

“Ada angin apanih? Tumben banget turun ke jalanan lagi, Vin.” Devin tertawa renyah mendengar penuturan itu dari temannya yang bernama Arga.

“Otak gue butuh refreshing bro, gara-gara ujian nih.”

“Mau ikut tanding Vin?” 

“Jelas dong! Menurut lo gue turun ke jalan lagi kalo bukan ikut tanding buat apalagi?” Devin mengeluarkan dompet dari saku celananya, kemudian menggabungkan uangnya dengan lembaran-lembaran sama di sana.

“Gue nggak yakin lo bakal menang, secara, lo kan udah lama nggak turun ke jalan lagi.” Devin tersenyum remeh, kemudian memakai helm full face-nya.

“Kita lihat aja nanti.” Setelah itu Devin mengendarai motornya menuju sirkuit pertandingan. Di sana ada sekitar lima orang yang akan mengikuti pertandingan.

Terlihat seorang cewek berpenampilan minim berjalan ke tengah-tengah sembari memegang sebuah sebuah bendera. “Ready?” ucapnya, kemudian menatap satu persatu pada orang yang mengikuti pertandingan.   

“Go!” Bendera itu dikibarkan, dan saat itulah semua mengendarai motornya masing-masing dengan kecepatan penuh. Sama halnya dengan Devin, dia memacu motornya dengan kecepatan penuh.

Saat dipertengahan pertandingan, terdengar suara sirine polisi yang mengakibatkan mereka semua berhamburan. Mereka semua melarikan diri dengan motornya masing-masing.

Suara bising yang mereka timbulkan berbenturan dengan suara sirine polisi yang terdengar semakin jelas.

Devin bertindak cepat. Dia sangat sadar dengan konsekuensi yang harus dia hadapi ketika bergelut dengan kegiatan ilegal seperti ini.

Kejar-kejaran dengan polisi adalah kebiasaannya setiap turun ke jalan. Nasibnya selalu beruntung karena tidak pernah tertangkap seperti kebanyakan teman-temannya.

Namun sepertinya keberuntungannya hilang saat ini, Devin semakin memacu kendarannya ketika mendengar suara sirine polisi semakin nyaring.

Padahal Devin merasa dialah yang tercepat dan sudah melesat jauh meninggalkan mobil-mobil polisi. Namun, ternyata dia harus berhenti di tengah pelariannya karena bensinnya yang habis. Sial! Kenapa dia bisa sampai lupa mengisi bensin sebelum datang ke sini?

“Shit! Kenapa harus saat-saat seperti ini sih!?” Makinya dengan kesal.

***

Devin berjalan santai sambil sesekali bersiul memasuki rumahnya, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

Mencoba mengabaikan namun namanya dipanggil membuatnya harus menghentikan langkahnya.

“Devin, sini dulu. Mama pengin ngomong sama kamu.” Devin menghela napasnya, melangkah menuju sofa tempat mamanya duduk.

“Kenapa? Tumben Mama pulang.” Mendengar penuturan anaknya, mamanya sedikit menghela napasnya merasa tak enak.

“Vin, kamu udah besar yah. Perasaan, baru kemarin Mama lihat kamu masih kecil tapi sekarang kamu udah dewasa seperti sekarang.”

“Nggak usah banyak basa-basi, Mama pengin ngomong apa sama aku?”

Mamanya tersenyum, kemudian mengusap pelan rambut Devin. “Mama denger, kamu buat masalah lagi yah? Soal apa? Balap liar?” Devin membuang wajahnya ke samping.

Jika ada yang bertanya mengapa Devin sudah di rumah sekarang, sebenarnya Devin tadi malam di bawa polisi namun pengacara dari Mamanya langsung berindak untuk mengeluarkan Devin dari sana. Alhasil Devin sekarang sudah berada di rumahnya.

“Terus, tadi Mama nemu ini banyak di kamar kamu. Kenapa nggak kamu kasih ke Mama?” tanya mamanya sembari mengeluarkan beberapa surat panggilan orang tua. 

“Mau ngasih gimana? Mama aja nggak pernah di rumah kan?” Tepat pada sasaran, raut wajah mamanya langsung berubah.

“Vin, Mama minta maaf karena nggak bisa-”

“Nggak usah minta maaf, Mama ngelakuin ini semua buat Devin kan? Devin ngerti kok, cuma Devin kadang pengin dikasih perhatian sedikit aja sama Mama. Sebenarnya Devin nggak butuh semua uang yang Mama kirim.”

Mamanya menunduk, dia ragu ingin mengatakan atau tidak alasan dia pulang sebenarnya. “Vin, mungkin ini sedikit sulit buat kamu. Tapi kamu harus memilih mau ikut Mama atau Papa?” Devin mengerutkan alisnya tidak paham.

“Maksudnya?”

Mamanya menarik napasnya lalu membuangnya kembali sebelum dia melanjutkan kalimatnya. “Mama sudah putuskan kalau Mama sama Papamu akan cerai. Kamu tahu kan kalo kita selama ini nggak akur, jadi Mama pikir lebih baik kita bercerai saja. Jadi, kamu mau ikut Mama atau Papamu?”

Devin tersenyum kecut. “Ma, apa nggak ada hal lain selain kalian cerai? Apa hanya itu satu-satunya cara?”

“Vin, ini yang terbaik buat kami-”

“Yang terbaik buat kalian bukan berarti terbaik buat Devin!” Setelah mengucapkan itu, Devin langsung keluar dari rumahnya, mengabaikan teriakan dari sang Mama.

“Vin! Dengerin Mama dulu, kamu mau ke mana hah?!” Devin tak menghiraukan dan memilih untuk mengendarai motornya. 

Mengabaikan hujatan yang keluar dari pengendara lain, Devin terus memacu motornya dengan kecepatan penuh membelah jalanan. Dia tidak peduli dengan orang lain, yang ingin dia lakukan adalah melupakan ucapan Mamanya tadi.

***

Ujian yang menjadi momok untuk para murid selama beberapa hari ini akhirnya sudah selesai. Dan saatnya Leta menikmati hidupnya kembali, bermalas-malasan. Leo yang sejak pagi melihat Leta hanya rebahan di atas kasur menggelengkan kepalanya.

Sembari membereskan kamar cewek itu, Leo melemparkan sebuah botol minuman yang telah kosong ke arah Leta, dan tentu saja hal itu membuat sang cewek mendelik sebal dan melemparkan balik botol itu ke Leo.

“Ngapain lo ke kamar gue sih?!” tanya Leta sebal.

“Gue kira lo itu mati karena nggak keluar kamar dari tadi, ternyata lagi males-malesan.” Leta tak berniat menjawab, melainkan mengubah posisinya untuk tengkurap dengan tangan yang setia memegang ponselnya.

“Ta, bangun kenapa sih,” ucap Leo melemparkan bantal ke arah Leta membuat cewek itu merasa kesal dan mengubah posisinya untuk duduk.

“Apa sih?!”

Leo berkacak pinggang, selanjutnya dia langsung naik ke atas ranjang Leta dan langsung mengapit kepala cewek itu di antara ketiaknya yang membuat Leta langsung naik pitam.

“Nggak jelas banget lo, dateng-dateng cuma mau nyari keributan sama gue.” Leo tertawa menanggapi ucapan Leta.

“Oke-oke, gue keluar aja sekarang.” Leo beranjak keluar dari kamar cewek itu. Sementara Leta memandang aneh pada kembarannya, setelah itu dia melanjutkan untuk berbaring di atas kasurnya.

Leo meregangkan tubuhnya, melihat sekeliling rumah yang sepi. Dia rindu, rindu kehadiran mamanya. Ingin bertemu namun tak bisa karena sudah berbeda alam, dia juga sedikit merindukan sosok daddy-nya meskipun terkadang menyebalkan. 

Leo tersenyum kecil, setelah itu dia menuju dapur untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering saat ini.

Namun baru satu langkah, dia mendengar bel rumahnya berbunyi membuatnya mengurungkan niatnya ke dapur. Dan beralih ke pintu untuk melihat siapa yang bertamu di sore hari ini.

“Tumben lo ke sini?” tanyanya setelah membuka pintu dan mendapati seorang lelaki yang tersenyum sambil berdiri di sana.











Tbc...

NERDWhere stories live. Discover now