Tujuh Puluh Enam

68.9K 9.2K 3.5K
                                    

Syifa mengerjap pelan, menyesuaikan siluet mentari yang memaksa masuk ke retina matanya, tadi setelah subuh, ia memutuskan untuk kembali tidur karena malas melakukan apapun, untunglah Azka pun mengerti dan mengizinkannya.

Syifa kembali teringat tentang kejadian semalam, saat brankar yang di gunakan Al memasuki pesawat di ikuti pula oleh oma dan opa di belakangnya, ya! Setelah ia dan Azka mengizinkan Al ke luar negri untuk meakukan pengobatan, Opa Bram langsung menelpon tangan kanannya untuk menyiapkan pesawat yang akan di gunakan, tak lama mereka pun pergi.

Syifa tersenyum getir dan kembali berkaca-kaca, bayangan Al tersenyum padanya, bermain dengannya tiba tiba memutar indah di kepalanya, tidak! Ia tidak boleh menangis, sudah cukup semalam ia menguras air matanya, tidak lagi sekarang, bagaimana Al akan kuat jika ibunya saja rapuh.

Ceklek

Buru-buru Syifa menghapus air matanya saat Azka masuk ke kamar, gadis itu tersenyum manis membuat Azka juga ikut tersnyum karenanya.

"Udah enakan?" tanyanya seraya duduk di pinggiran kasur.

Syifa menyipitkan matanya, "Memang Syi kenapa?" jawabnya kembali bertanya.

Azka tersenyum seraya mengusap kedua mata gadisnya yang memerah, ia tau istrinya sempat menangis tadi, ia tau istrinya masih memikirkan kondisi Al yang saat ini berbeda negara dengannya.

"Jangan sedih lagi ya." pintanya seraya mengecup singkat dua mata itu.

Syifa memejamkan matanya seraya menunduk dalam, tanpa sadar buliran air mata kembali menetes membasahi pipinya, ia rapuh, hatinya tak setangguh batu karang yang mampu bertahan meski terus di terjang ombak.

"Syifa sayang dengerin Azka, Al disana pasti sedih jika ibunya sedih, yang di butuhkan Al itu bukan tangisan, melainkan dukungan supaya dia bisa kembali pulih, yang seharusnya Syifa lakukan adalah berdoa dan tetap berfikir positif, ya?

Syifa mengangguk, lidahnya terasa kelu untuk sekedar menjawab 'iya'. apa yang di katakan Azka benar, tak ada gunanya terus menangis, tak akan bisa mengubah apapun yang sudah terjadi.

"Sekarang siap-siap, gue tunggu di bawah." dan kembali lah sifat dingin dan datar Azka, lelaki itu pun berlalu meninggalkan Syifa di kamar.

Gadis itu menghelakan nafasnya, "Gue gak boleh nangis terus kek gini, gue harus jadi wanita kuat yang kalau nangis, nangis bahagia, gue gak boleh lemah, lembek, letih, lesuh, lunglai, gue harus bisa jadi Syifa yang ceria."

Tanpa ia sadari, sosok Azka masih ada di balik pintu, lelaki itu mendengar semua ucapan istrinya, ia ikut bahagia, setidaknya Syifa-nya sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak larut dalam kesedihan, ya! Awal yang baik.

****

Syifa memandang sekolahnya yang sudah di padati murid dari sekolah lain, ia baru ingat jika hari ini adalah hari H pelaksanaan Kencana Competition yang selalu di adakan sekolahnya setiap satu tahun sekali.

Syifa menoleh pada Azka yang sedari tadi hanya memainkan ponselnya, ia mengelakan nafasnya, sudah terhitung sepuluh menit mereka sampai di sekoah, namun selama itu pula, keduanya hanya diam dalam mobil, ralat! Hanya Syifa saja.

Azka tak mengizinkannya keluar melihat dunia luar, katanya sih bahaya, banyak murid dari seklah lain yang tak di kenal, tapi itu bukanlah alasan yang ingin Syifa dengar, toh tahun lalu ia juga mengikuti event ini dan tak terjadi apapun padanya, ia masih sehat, utuh, tak kurang suatu apapun.

"Syi mau keluar lo Kak Azka." rengeknya sambil menggoyangkan lengan Azka di sampingnya.

"Nanti." jawabnya tanpa menoleh.

My bad boy Azka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang