Delapan Puluh Satu

45.1K 7.6K 1.6K
                                    

Gundukan tanah merah dengan batu nisan yang bertuliskan 'Melly Fahira' itu terpampang jelas di hadapan Arfan dan juga pelayat lainnya. Sedari tadi, Mama Melly tak berhenti menangisi putri semata wayangnya itu yang begitu cepat meninggalkannya, ia bersimpuh lemah di samping makam putrinya itu, sungguh ia benar-benar tak sanggup.

"Sayang maafin mama hiks... ini semua salah mama, seharusnya mama dengerin ucapan kamu waktu itu hiks..." Mama Melly kembali menerawang kejadian tempo lalu saat putrinya itu mengatakan jika Karel bukanlah orang baik, pria itu hanya mencintai hartanya saja tidak dengan dirinya, Melly juga mengatakan jika dirinya pernah di kasari pria brengsek itu dan bodohnya ia tak percaya dengan itu semua.

Mama Melly semakin histeris hingga akhirnya wanita itu pingsan tak sadarkan diri, buru-buru anggota Vagos yang ada disana membawa Mama Melly kembali ke rumah supaya beliau bisa menenangkan diri, Umma Mira dan Mama Arfan yang turut hadir di acara pemakaman itu pun pamit undur diri untuk mendampingi Mama Melly yang membutuhkan sandaran.

Arfan, lelaki yang menyandang status sebagai kekasih Melly itu hanya diam tak suara, hatinya seperti mati rasa, pikirannya melayang jauh, jiwanya ikut pergi bersama gadis pujaan hati, raganya memang berwujud tapi jiwanya menghilang. Memorinya kembali mengulang kejadian kemarin sore saat ia masih bertukar pesan dengan sang gadis, ia tak menyangka jika kemarin adalah hari terakhirnya bersama gadisnya, andai saja setelah berbincang singkat ia tak kembali tertidur, andai saja ia langsung bersiap dan menjemput gadisnya, mungkin sampai sekarang Melly masih ada di sampingnya, masih membersamai hari harinya, ya! Ini semua memang salahnya, ia mengakui itu.

Syifa yang juga turut hadir di acara pemakaman sahabatnya itu pun tak bisa berhenti menangis, ia memeluk erat Azka di sampingnya, meskipun datang dengan kursi roda, tak mematahkan sedikitpun niatnya untuk mengantarkan sahabatnya ke peristirahatan terakhirnya, sama dengan yang lainnya ia pun tak menyangka jika Melly secepat itu meninggalkannya.

Malam itu, saat dirinya, Azka, dan inti Vagos lainnya sedang bersenda gurau, tiba-tiba Vania datang dan langsung memeluknya dalam keadaan menangis, Syifa yang mendapatkan perlakuan tiba tiba itu pun bingung, mengapa sepupunya itu datang dan langsung menangis? Barulah setelahnya Revan masuk dan mengatakan hal pahit itu.

"Sakit Kak Azka." Lirihnya sambil meremas dadanya sendiri, rasanya sakit sekali di tinggal seseorang yang sudah berperan penting dalam hidup ini, apalagi Melly adalah sahabat kecilnya, bukan setahun dua tahun mereka saling mengenal, tapi sudah bertahun tahun.

Azka mengangguk singkat, ia tau apa yang tengah di rasakan gadisnya, ia pun juga merasakan hal yang sama saat Bunda Jia pergi meninggalkannya, di usapnya kepala gadisnya itu lembut agar hatinya tenang.

"Ikhlasin Syi, meskipun itu berat." Ucapnya menenangkan.

Keadaan pemakaman sudah jauh lebih sepi dari sebelumnya, barulah saat itu Arfan membuka kaca mata hitamnya yang ia gunakan untu menutupi luka yang nampak jelas di matanya. Lelaki itu mendekat dan bersimpuh di samping makam gadisnya, saat itulah air matanya tumpah, ia masih tak rela jika gadisnya pergi, ia masih tak sanggup menerima ini semua, bayang bayang saat dirinya dulu sering menghukum Melly, menjahilinya, hingga saat ia menyatakan perasaanya berputar indah di otaknya.

"Maafin aku, ini semua salah aku, harusnya aku datang saat itu, bukannya malah enak enak tidur." Ucapnya tersenyum miris.

"Sayang, sampai kapanpun cuma kamu pemegang kunci hati ini, cuma kamu satu satunya yang bisa buka hati ini, your'e the only one, dan sampai kapanpun kamu lah yang pantas menjadi gadisku, nothing else." Terakhir Arfan mencium lama nisan itu sebelum ia pergi meninggalkan rumah gadisnya, ia tak lagi menghiraukan keberadaan para sahabtanya yang masih ada disana, yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan.

My bad boy Azka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang