Pasca Bagian I : Rumah

1.3K 243 33
                                    

Di hari ke-14 pasca ledakan, sulit untuk kami menemukan jalan pulang.

.

.
.

|Hari ke-14 pasca ledakan|

.
.
.

Tiba-tiba saja, aku sudah dipaksa memanggilnya Ibu.

Sejak awal aku sudah tahu, Langit Utara adalah manusia yang penuh dengan "apa-apa". Siasatnya menyerupai ular, licin dan berbisa. Nyaris dari semua segi dia sempurna, sayangnya minus utama yang ia miliki sanggup menghapus seluruh aspek sempurnanya; dia suka ikut campur atas dasar kasihan. Padahal yang dia lakukan hanya menyaksikan drama—hanya sampai dia terlibat sendiri di dalamnya seperti saat Angin Utara nyaris membunuhnya dengan pistol paku.

Duo sinting bersaudara itu benar-benar cocok menghuni rumah sakit jiwa, malah jika beruntung bisa membuat aliansi dengan pasien lain yang akan dengan mudah bisa mereka perdaya. Tapi dengan melihat Angin kehilangan lisensi dan mendekam di balik jeruji besi ternyata cukup menyenangkan dan membuat hati ringan. Sampai, pada suatu masa ketika terik matahari mencapai puncak kota Surabaya, manusia setan itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan rumah.

Aku bisa saja mengusirnya dengan alibi masih belum sembuh total pasca ledakan, tapi toh bakal percuma. Karena setelahnya pria itu memasuki rumah seolah ini rumahnya sendiri. Aku bahkan baru keluar dari rumah sakit kemarin.

Tante Meta menyambut kehadirannya buru-buru, kejadiannya begitu cepat sampai aku nyaris mati tersedak rujak cingur.

"Mulai sekarang, panggil dia Ibu."

Aku membeku, Dione yang bergabung di belakangnya menatapku tanpa kata. Ini bencana, atau mimpi buruk, atau aku sedang berhalusinasi sehingga ketika menatap wajah Tante Meta yang entah kenapa telah basah dengan air mata, aku jadi ingin mengubur diri di puing bangunan Gedung Khay Geotopia.

Tidak bisa begini.

Mataku keruh, tapi aku tidak menangis. Pertama, pada dasarnya ledakan telah membuat penglihatanku sedikit terganggu. Kedua, aku tidak bisa membedakan apakah aku sedang sedih atau ingin tertawa karena lelucon Langit Utara terlalu konyol untuk ditertawakan.

Sialnya, sosok selanjutnya yang melewati pintu masuk sukses membungkamku sepenuhnya. Wanita berambut kelabu itu menatapku lamat-lamat, matanya sendu—atau kesal? Aku tidak tahu.

Yang jelas, rumah ini bukan tempat yang masuk akal untuk Bibi Nomor Satu.

"Samudera, apa kabarmu?"

Aku tidak menjawab, alih-alih aku mengepal tangan kelewat erat hingga buku-buku jariku mati rasa. Seolah tubuhku dipaku di lantai tempatku berdiri dan menahanku untuk menghadapi semua hal yang terasa asing.

Dione duduk di samping Langit Utara, kemudian mempersilakan Bibi Nomor Satu untuk ikut duduk juga. Hanya aku yang berdiri, dan bersiap lari jika dibutuhkan.

Aku menulikan telinga tatkala Langit berusaha memperjelas situasi. Sementara Tante Meta masih terisak—terutama saat melihat sosok Bibiku.

"Samudera, wanita ini," suara Bibi Nomor Satu meraup udara di sekitarku, "adalah Ibumu. Itu sebabnya, Bibi nggak menjemputmu di rumah sakit waktu itu."

Padahal aku sudah lupa, dan mencoba menganggap rasa sakit dibuang olehnya saat itu sebagai salah satu mimpi buruk yang hanya sekadar mimpi.

Mataku pias, aku melirik sosok wanita yang dimaksud—yang sebelumnya kukenali sebagai Tante Meta—dan dengan cara yang tidak bisa kumengerti, hatiku terasa sakit sekali. Melihatnya seperti ini—membayangkan sosok hangatnya sebagai Ibu yang selama ini kubenci. Aku ingin melarikan diri.

Geotopia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang