Vier : ❛Lem Khorea.❜

563 79 7
                                    

—[Lem Khorea]—

Sensei ....”

Ha'i?”

Iris mata Haruto melihat ke arah anak muridnya. [Name]. Yang sedang duduk membelakangi di bingkai pintu geser rumah tradisional miliknya. Mungkin menatap keluar. Haruto mencondongkan tubuh ke samping, ingin melihat ekspresi yang dipasang gadis itu, lantas ... kedua netra membelalak kaget.

Helaian surai hitam [Name] melayang tertiup angin lembut. Si gadis menutup mata menikmati sensasi damai ini. Cahaya dari sinar rembulan yang bersinar di luar sana menambahkan kesan yang indah, tapi hangat. Penuh cahaya yang dapat mengalahkan kegelapan malam.

Haruto mengerjap melihat itu, lantas kedua mata langsung menyipit, disusul netra yang agak menggelap. Melihat anak didiknya seperti itu ... memaksanya untuk mengingat betapa 'kotor' dirinya ini. Ia yang merasa tidak pantas hidup dalam cahaya dunia. Namun, keras kepala dan tetap mencoba, bahkan setelah melewati kepedihan yang mendalam.

Kamu pantas, kok~

“Haaa ....” Haruto mengembuskan napas lelah. Ingatan seorang gadis yang tersenyum lebar padanya terlintas dalam pikiran. Seseorang yang ingin ia hapus dari memori masa lalunya. Sayang sekali ... ia belum bisa melakukannya.

Sensei?”

“WAH, [NAME]-CHAN!” Haruto mundur ke belakang. Kaget. Si gadis tiba-tiba saja duduk berjongkok di hadapannya. Membuat jantungnya berdetak, tapi bukan karena cinta. Lalu, ia mengelus dada. “[Name]-chan mengejutkanku,” katanya.

Si gadis memiringkan kepala. “Makanya jangan melamun,” jawabnya. Kemudian, menunduk. Melihat ke arah tumpukan kertas yang sudah dihiasi tulisan indah dan beberapa kertas kosong yang cukup berserakan di atas meja.

Sensei menulis? Kali ini cerita tentang apa?” [Name] mendudukkan diri. Mengambil satu kertas, lalu membaca isinya. Mata maroon-nya bergulir menatap kalimat-kalimat penuh makna yang gurunya tuliskan di atas kertas polos ini. Namun, di tengah-tengah cerita. Adegan tidak senonoh muncul, membuat penyampaian perasaan itu tidak berlangsung lama dan hancur hanya karena adegan dewasa itu keluar secara mendadak tanpa direncanakan.

“Bagaimana? Seru, gak?” tanya Haruto seraya tersenyum kayak orang bodoh.

“Ini buruk.” [Name] mengernyitkan keningnya.

“[Name]-chan, aku menulis itu dengan sepenuh hatiku, loh. Dan kamu menghancurkannya dengan mudah,” kata pria itu dengan nada datar. Kerja kerasnya dihina begitu saja oleh muridnya sendiri.

“Karya Sensei harus dikritik biar tidak jadi kebiasaan. Adegan dewasa yang muncul tiba-tiba seperti ini pasti kau tulis asal saja saat ada niat di tengah-tengah menulis ‘kan? Ini tidak nyambung dengan keadaan tokoh utama sebelumnya, tau. Merusak saja, iihh.” [Name] menggaruk pipi dengan jari telunjuk. Kembali membaca di mana adegan itu merusak segalanya.

“Disetiap ceritaku harus ada adegan dewasanya, ya, maaf.” Haruto menyatukan kedua tangan di depan dada.

“Setidaknya kurangin, dong, Sensei. Ini sudah parah banget, loh. Editor Sensei pasti bakalan makin stres setelah membaca adegan ini.”

“Ah ... yah, gak papa, sih.”

“Sifat Sensei yang membuat semua orang kesusahan itu sudah dijadiin kebiasaan, ya?”

Preciousness ❣ [uɿoƚɒꙄ oꞁoᎮ]Where stories live. Discover now