07

36.3K 3.1K 47
                                    



Nafisah menghembuskan napas kasarnya.
"Nggak usah banyak basa basi bacot. Cepetan jalan," ucap Nafisah setelah puas memaki Habibi sesuka hatinya.

Ia tidak menyangka ternyata berdebat dengan Lelaki satu ini, bisa menghabiskan setengah energi di dalam tubuhnya.

Habibi hanya mengangkat bahunya acuh. Masa bodo dengan Nafisah yang masih berusaha terus memakinya.

"Gue mau tanya," ucap Nafisah saat merasa hati dan tenaganya sudah pulih kembali. "Nyokap lo bilang, lo pernah mondok di pesantren? Tapi ko ... kalau gue lihat-lihat. Tampang lo itu nggak ada tuh, aura ustadz-ustadz nya. Lebih ke-"

"Cowok brengsek," ucap Habibi memotong pembicaraan Nafisah.

Nafisah tersenyum senang.
"Nah, itu lo tahu."

Habibi tersenyum simpul. "Yang penting apa yang gue dapetin di pesantren. Dikit-dikit bisa gue amalin buat bimbing lo yang otak dan kelakuannya masih setengah manusia."

Kedua mata Nafisah tiba-tiba melotot tajam saat mendengar kata terakhir Habibi kepadanya.
"Maksud lo apa hah? Lo bilang gue setengah manusia?" tanya Nafisah sembari menahan amarahnya.
"Lo pikir gue ini manusia jadi-jadian?"

Plak ...

Nafisah memukul bahu Habibi dengan tasnya.
"Turunin gue di sini!"

"Oke!"

Tanpa basa basi Habibi segera menurunkan Nafisah di pinggir jalan dan membuka pintu mobilnya lebar-lebar.

Nafisah memasang wajah tak percaya.

Ia sudah terlanjur kesal kepada pria yang berada di sampingnya ini.

"What's? Serius?" tanya Nafisah di dalam batinnya. "Dia mau nurunin gue di tengah jalan. Oke fiks. Dia adalah laki-laki pertama yang lancang nurunin gue di pinggir jalan."

Melihat Habibi yang hanya mengarahkan dagunya agar Nafisah segera keluar. Ia pun segera turun dan menutup pintu mobil Habibi dengan sangat keras.

"COWOK SINTING."

Nafisah terus saja mencaci maki Habibi hingga Habibi pun kembali mengelus halus dada bidangnya.

Nafisah mencoba meraih ponselnya untuk memesan Taksi.
"OMG," teriak Nafisah sembari terus menepuk jidatnya berkali-kali.

Bahkan, ia sampai lupa bahwa handphonenya tadi sempat ia lemparkan jauh ke kursi belakang dan semua dompet, ATM pun di sita Papahnya karena dengan lancang menyiram muka dan kemeja Habibi sampai basah kuyup.

Nafisah menatap ke depan.

Melihat jarak mobil Habibi yang belum terlalu jauh dengannya.

Nafisah mengangkat tangannya sembari memanggil Habibi berkali-kali.

Memohon, agar ia berhenti dan mengajaknya kembali masuk dengannya.

"Eh ... tungguin," ucap Nafisah dari jauh.
"Tungguin gue," teriak Nafisah sembari lari terbirit-birit.

Dari jauh Habibi melihat Nafisah mengangkat tangannya dan memintanya segera berhenti.

Namun, ia terus memajukan mobilnya secara pelan-pelan sampai Nafisah menyerah dan kecapean.

"Kapok kan lu Boah, gue kerjain," ucap Habibi sembari tersenyum senang melihat wajah Nafisah yang mulai nampak kelelahan.

Nafisah masih terus berlari mengejar mobil Habibi, bahkan sampai sandalnya pun putus karena terlalu jauh berjalan tak beraturan.

Tak peduli banyak orang kini melihat Nafisah seperti gelandangan.

Ia semakin kesal karena Habibi tak menghiraukan permintaannya. Justru terus melajukan mobilnya semakin kencang.

Merasa cukup membuat Nafisah mengeluarkan banyak keringat dan kecapean, Habibi pun segera menghentikan laju kendaraannya dan meminta Nafisah agar segera kembali masuk ke dalam mobil.

"Udah olahraganya? Cepet masuk. Nggak enak diliatin banyak orang," ucap Habibi bermaksud mengejek Nafisah sembari terkekeh pelan melihat penampilan Nafisah yang semrawut.

Plak ...

Nafisah kembali melayangkan tasnya hingga membuat bahu Habibi sedikit kesakitan. "Kurang ajar ya lo. Gue aduin Papah kalau lo udah turunin gue di jalan. Biar tahu rasa," ucap Nafisah dengan napas yang terengah-engah.

Habibi mengerutkan keningnya.
"Bukannya tadi lo sendiri yang minta-"

"Diam! Dasar cowok," jawab Nafisah menaikkan oktaf suaranya.
"Nggak peka! Cepetan jalan. Nggak usah banyak cingcong."

Nafisah segera menghembuskan napasnya perlahan-lahan.

Ia masih mencintai dirinya.

Ia tidak ingin membuat dirinya mendadak punya penyakit darah tinggi karena seorang Habibi, no way!!

Habibi menghembuskan napas kasarnya.

Benar kata Papah Kamil sebelum Habibi mantap menerima perjodohan ini.

Nafisah ini anaknya sangat keras kepala dan manja.

Habibi dapat melihat semua itu hari ini. Padahal baru satu hari ia berdekatan dengannya. Namun, rupanya watak dan karakter Nafisah sudah bisa ia baca.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu? Naksir?"

Habibi hanya mengangkat bahunya acuh.

Melihat Nafisah yang terlihat kecapean Habibi segera mencari air mineral di sekitar mobilnya.

Setelah menemukan botol itu ia segera memberikannya kepada Nafisah.
"Nih, Minum! Lo pasti cape kan."

Nafisah dengan cepat meraih botol itu. Bagaimanapun, kekesalannya pada Habibi tak akan membuat rasa haus di tenggorokannya menghilang seketika.

Setelah selesai meneguk botol minuman itu sampai ludes. Nafisah segera membuang botol itu ke sembarang arah.

Namun, siapa sangka botol itu tepat mengenai kepala Habibi yang berada di sampingnya.

Nafisah tersenyum kecut saat melihat botol itu mendarat tepat di kepala Habibi dengan sangat keras.

"Sorry, nggak sengaja," ucap Nafisah dengan wajah watadosnya.

Habibi hanya bisa mengelus halus dada bidangnya. "Sabar Bi Sabar ... Yang sabar jodohnya cewek bar-bar," ucap Habibi dan berhasil membuat Nafisah kembali menatap tajam kepadanya.

•••

Instagram/ TikTok : @setiawantuz

Dear Habibi [END]Where stories live. Discover now