47

13.6K 1.1K 43
                                    



"Berobat aja ya. Apa susahnya nurut sama gue," ucap Habibi semakin mengkhawatirkan keadaan Nafisah yang kembali memuntahkan apa yang ada di dalam perutnya.

Nafisah menatap sayu Habibi. Setelah bertengkar dengan pikirannya, Ia segera menggelengkan kepalanya tak mau.
"Pingin pulang," ucapnya merengek manja membuat Habibi menghembuskan nafasnya perlahan-lahan.
"Gue istirahat aja di rumah, maaf udah ngerepotin lo terus," ucap Nafisah memelas kasih. Ia tetap bersikeras tidak ingin dibawa ke dokter atau klinik terdekat.

Habibi menganggukkan kepalanya setuju. Ia pun segera pamit dan memapah Nafisah menuju mobilnya dengan sangat hati-hati.

•••

Pagi ini Habibi sudah menyiapkan semua kebutuhan Nafisah sebelum ia berangkat ke kantor. Nafisah sangat bahagia, karena semenjak ia sakit Habibi begitu perhatian kepadanya. Ia juga tidak pernah lupa menanyakan kabar meski tengah sibuk seharian bekerja di kantornya.

Hari ini adalah hari kedua Nafisah merasakan mual dan sakit di bagian kepalanya. Meski sudah terlihat agak baikan, tetap saja Habibi begitu mengkhawatirkan kesehatannya.

"Kenapa? Ko senyum-senyum sendiri?" tanya Habibi menatap bingung Nafisah yang tengah cengar-cengir disela-sela ia menyuapi buburnya.

Nafisah tersadar, saat Habibi mencubit gemas pipinya.
"Ih, Abi," protes Nafisah yang tengah membuyarkan lamunannya. Padahal baru saja ia merencanakan sesuatu yang indah dalam angannya.
"Sakit tau," ucapnya mengaduh manja.

Tanpa memperdulikan ucapan Nafisah. Habibi terus menyuapi Nafisah tanpa membiarkan ia jeda sedikitpun.

Ia terlihat bahagia, melihat Nafisah yang mulai lahap memakan bubur buatannya.

Tangannya refleks mengusap halus sudut bibir Nafisah yang nampak terlihat kotor karena beberapa bekas suapan terakhinya.

Sontak saja membuat Nafisah tersenyum malu, saat Habibi menatap tajam kearahnya. Meski sekarang sudah terbiasa hidup berdua bersama Habibi. Tetap saja, hatinya selalu bergetar dan berbunga-bunga jika mendapatkan perlakuan spesial dari suami tercintanya itu.

"Gue berangkat dulu ya. Jangan keluar rumah dulu. Kalau ada apa-apa. Cepetan telpon gue," ucap Habibi mengingatkan Nafisah agar tetap di rumah. Meski keadaannya sudah sedikit membaik dari sebelumnya.

Setelah Nafisah mencium punggung tangan Habibi, diikuti Habibi yang mencium kening Nafisah begitu lama, mencurahkan semua kasih sayang sepenuhnya pada Nafisah.

Ia segera pergi untuk kembali menjalani rutinitas kesehariannya. Bekerja seperti sedia kala.

Nafisah tersenyum bahagia saat terakhir melihat Habibi melambaikan tangannya.
"Dipikir-pikir, enak juga ya jadi orang sakit," ucapnya sembari memeluk guling yang ada disampingnya. Mengingat kembali betapa sweetnya sikap Habibi beberapa hari ini.
"Iya kali, gue meski sakit Mulu biar dapet perlakuan yang uwu."

Suara teleponnya berbunyi. Sejenak, ia mengalihkan perhatiannya dan segera mengangkat siapa yang kini tengah menelponnya.

Papah is calling ...

"Hallo papah," ucap Nafisah begitu bahagia menyambut telpon dari Papahnya.

Terlihat, bahwa ia begitu sangat merindukannya.
"Papah kapan ke Jakarta? Nafisah kangen udah kangen banget."

Papah Kamil merasa lega, akhirnya setelah sekian lama, ia mendengar suara putri tercintanya karena terlalu sibuk mengurus perkebunannya di Bandung.
"Alhamdulillah, papah baik Nak. Papah khawatir pas tahu kamu sakit," ucap Papah Kamil begitu mengkhawatirkan putrinya, walaupun ia sudah berumah tangga.

"Abi bilang sama papah?"

"Iya, dia bilang sama papah. Suruh bujukin kamu biar mau diajak ke dokter. Papah panggilin dokter aja ya Nak."

Nafisah menggelengkan kepalanya tak mau. "Nggak usah Pah. Nafisah udah baikan ko. Oh, iya kapan Papah ke Jakarta. Acara resepsinya kan tinggal berapa hari lagi. Mamah Sinta dan Papah Surya, lagi pada sibuk lo nyiapin semuanya. Masa Papah belum datang sih."

"Iya sayang. Ini Papah lagi siap-siap. Mungkin malam, baru sampe ke Jakarta," ucap Papah Kamil yang juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan putrinya setelah sekian lama tak bertemu karena sibuk mengurus perkembangan perkebunannya.

Nafisah begitu bahagianya, mendapatkan kepastian bahwa Papahnya akan segera kembali ke Jakarta.
"Oke dech. Nafisah tunggu. Hati-hati di jalan ya Pah. Salam buat nenek dan Kakek."

"Iya, nanti Papah bilangin."

Setelah Papah Kamil menutup telponnya, Nafisah segera meminta bibi untuk menyiapkan masakan kesukaan Papahnya. Ia juga tidak lupa merapihkan ruangan Papahnya.

•••

Malam ini seolah bahagia begitu sempurna menyapa Nafisah dan keluarganya.

Papah Kamil yang sudah sampai di Jakarta selalu memberikan gelak tawa disela-sela perbincangan mereka saat melakukan sesi makan malam bersama.

Nafisah memanyunkan bibirnya kesal, saat Papah Kamil menagih janjinya akan menghadirkan cucunya yang unyu-unyu sesuai dengan kesepakatan di awal sebanyak 12 biji, karena Nafisah meminta mahar sebesar 5 Milyar kepada Habibi.

"Untung aja, papah nggak ngiyain persyaratan kamu. Coba kalau ngiyain," ucapnya mengejek Nafisah karena tak kunjung juga mendapatkan kabar ia sedang hamidun hamidah.
"Udah kocar kacir kamu. Harus Cepet beranak Pinak."

"Ih, papah kenapa dibahas lagi sih," ucap Nafisah terlihat begitu kesal. Apalagi melihat Habibi yang tengah tertawa mengejek kepadanya.
"Jangankan 12 biji. Satu aja masih coming soon papah."

"Makanya, doain aja. Nafisah juga udah nggak sabar pingin kasih papah cucu. Tapi gimana lagi. Bikin bayi kan nggak kayak bikin Seblak, detik ini diolah langsung jadi."

Papah Kamil tertawa renyah.
"Iya, iya, papah tunggu. Ya udah, papah istirahat dulu. Capek seharian dijalan," ucap Papah Kamil pamit undur diri dari meja makan membuat Nafisah akhirnya bisa bernafas lega.

Terbebas dari rengekan Papahnya yang sudah tidak sabar ingin menggendong cucu darinya. Habibi mengangkat sebelah alisnya, seolah ia tidak mau ambil pusing dengan permintaan Papah Kamil.

"Ih, lo juga nyebelin. Pake ngetawain gue lagi. Sama aja kayak Papah," ucap Nafisah kesal melihat wajah Habibi yang seolah tengah mengejeknya.
"Sana! Tidur di ruang tamu," ucap Nafisah lalu segera beranjak pergi meninggalkan Habibi yang baru saja selesai menyantap hidangan makan malamnya.

"Lah ko," ucap Habibi heran melihat sikap Nafisah.
"Marahnya ke siapa. Yang jadi sasaran siapa, dasar cewek," ucap Habibi lalu segera menyusul Nafisah menuju kamarnya.
Habibi berdehem kecil, saat melihat Nafisah tengah fokus menatap gemerlapnya bintang malam.

Nafisah seolah bersikap acuh. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri, karena masih belum bisa mewujudkan impian terbesar keluarga besarnya dan Habibi.

Habibi mengusap Lembut kepala Nafisah dengan penuh kasih sayang, memberikan sedikit ketenangan kepada jiwanya yang mulai tergoncang.

"Udah, nggak usah dipikirin. Yang penting kita kan udah usaha. Toh, masalah rezeki dan keturunan, kan udah diatur Tuhan," ucap Habibi mencoba menenangkan Nafisah dari kegalauan yang melanda jiwanya.

Nafisah menggeleng cepat.
"Tapi Bi-"

Habibi segera menutup mulut Nafisah dengan jari telunjuknya.
"Ada atau tidaknya buah hati. Cepat atau lambatnya kehadirannya. Tidak akan merubah rasa sayang gue sama lo Fis," ucap Habibi dengan sungguh membuat Nafisah begitu tersentuh dengan kesungguhannya.

Nafisah segera memeluk erat Habibi. Menenggelamkan tangis haru di dada bidangnya. Ia berjanji akan terus berdoa semoga segera diberkahi keturunan yang Sholeh, Sholehah. Aamiin yaa robba'alamiin.

•••

Bye 🔥

Jangan lupa jejaknya bestie

Dear Habibi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang