Mission to live

15 3 0
                                    

Sejak tadi Louis beregerak, si anak cengeng itu terus-terusan mengintainya. Langkahnya pelan, seperti anak kecil yang sedang diam-diam ingin mengambil cokelat di dalam kulkas. Saat Louis menangkap pergerakannya, ia terlihat ragu. Namun, tetap diam hingga Louis memilih acuh.

Sudah hampir setengah jam mereka terjebak di dalam ruangan ini. Tentu saja dengan penyamaran sebagai pengawal Harry. Memang, yang namanya penjahat, meskipun di ruangannya sendiri tetap saja tidak tenang. Masih saja butuh penjagaan ketat. Meskipun Louis merasa sesak karena, pertama—Louis adalah orang yang aktif. Dia suka banyak bergerak karena sudah biasa menjalankan misi. Kedua, jelas Louis merasa waktunya terbuang sia-sia. Terlebih lagi satu ruangan dengan Harry membuatnya merasa pengap. Kebencian terhadap pria berambut ikal itu membuatnya tak sudih untuk menghirup udara yang sama namun Louis harus tetap berpura-pura sebagaimana seorang Andreas. Ketiga, dirinya sudah tidak tahan lagi untuk bergegeas menjalankan misinya bersama Ashton. Bukannya ia tidak percaya sudah menitik beratkan seluruh tugas di misi ini pada Ashton. Tapi sejak dulu Louis selalu melakukan tugasnya sendiri. Yang hanya bisa dia andalkan hanyalah diri sendiri. Lagipula, Ashton butuh penjagaan, tepatnya mereka harus terus bersama agar bisa saling menjaga.

Louis tidak tahu apa yang sedang Harry dan tangan kanannya bicarakan. Sepertinya mereka mau melakukan sesuatu. Suara mereka tidak terlalu terdengar karena mereka berbicara cukup kecil tapi Louis berhasil menangkap pergerakan bibir Harry. Baru saja Louis mengerutkan kening saat membaca rencana Harry yang dengan jelas ia tangkap —kembali ke markas utama--- suara Ashton yang ia tunggu-tunggu terdengar pada alat pendengarnya.

"Aku sudah selesai dengan gudang senjata. Semua data lainnya ada di ruang berkas."

Louis menyimak.

"Sebelum aku kesini, aku sempat melihat sel berisi para wanita muda sepertinya mereka akan dijual sebagai budak seks. Dan juga, mulai dari sana adalah tempat yang tidak bisa dimasuki sembarang anggota. Jadi berhati-hatilah ketika kau menuju kemari. Aku ada di ruang berkas sayap kanan. Kau sudah hafal petanya. Kau akan tahu."

Bersamaan dengan informasi yang telah diberikan Ashton, tampaknya Harry dan orang itu baru saja selesai membicarakan hal penting itu. Tampak gusar, Harry diikuti penjaganya keluar dari ruangannya entah menuju kemana. Mau tidak mau, Louis dan si cengeng Sagan harus mengikutinya. Namun Louis tak bisa berada disini lebih lama lagi. Membiarkan beberapa orang berjalan lebih dulu, Louis membuat jarak yang cukup jauh dan akhirnya berbelok ke sudut lain untuk bersembunyi. Namun, sial. Tepat saat itu Sagan berbalik dan menatapnya dengan curiga.

"Andreas? Mau kemana kau?"

Louis berdesis kesal. Tanpa menjawab, ia berjalan menuju toilet diikuti oleh Sagan. Sialnya, anak cengeng itu cukup peka. Louis terlalu meremehkannya karena meski begitu, anggota Blackboyle bukannya orang sembarangan.

Di dalam toilet, Louis menyiapkan trik untuk menghabisi Sagan. Baru saja ia akan memasang serangannya, Sagan lebih dulu mennutup pintu dan menodong pistol padanya.

"Siapa kau?" tanyanya dengan nada mengancam. Pistol masih ia todongkan persis di kepala Louis. Meski begitu, sekali cengeng tetaplah cengeng. Mudah sekali menebak bila orang ini tidak berniat menekan pelatuknya. Dia hanya mengancam. Ancaman yang penuh dengan ketakutan. Nada suaranya bergetar dan beberapa saat kemudian, nafas Sagan terdengar kasar. Jemarinya yang bertaut di pistol mulai gemetar. Hal itu membuat Louis menyunggingkan senyum meremehkan.

DOR!

Satu tembakan meluncur melewati telinga kiri Louis. Itu pistol kedap suara. Louis melirik bolongan pada kaca tebal anti peluru yang melapisi bagian toilet.

"Melesat jauh," batinnya.

Meskipun ketakutan, ternyata anak itu masih punya harga diri. Ia tak suka Louis begitu meremehkan kemampuannya apalagi Louis tahu bahwa anak ini tidak bisa membunuh.

7 Days (One Direction Fanfiction)Where stories live. Discover now