Undercover on action

44 8 2
                                    

Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Louis berdiri di depan jendela kamarnya sambil memegangi kotak cincin yang terbuka. Sebuah cincin dengan permata kecil yang mengkilat-kilat. Benda yang akan ia lingkarkan ke jari manis Lexy seusai semua rencana ini berhasil dengan sempurna. Tinggal satu langkah lagi. Ia akan mengembalikan keadaan rumah tangganya seperti semula. Tinggal satu langkah akhir dengan rencana matang dan sempurna. Meski secara teknis tidak akan terjadi masalah, tapi Louis tidak merasakan apa-apa. Hatinya kosong. Tidak ada kelegaan atau kekhawatiran. Ia tak merasa apa-apa.

"Sudah siap?"

Ashton menyentuh pundaknya setelah selesai memilih persenjataan yang mereka bawa.

Louis menghembuskan napas panjang. Lalu menatap Ashton dengan serius. Ia mengangguk mantap.

Malam itu waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Keduanya masuk secara terpisah. Karena sebelumnya sudah pernah menyusup, maka hal itu tidak sulit untuk Louis. Bahkan dengan isntingnya yang kuat, ia bisa tahu di tempat-tempat mana saja orang-orang akan berkumpul.

Ashton melewati segerombolan orang-orang yang berjaga. Masing-masing dari mereka di lengkapi dengan persenjataan yang mereka jaga dengan baik. Setelah Ashton pergi agak jauh, barulah Louis menyusul.

"Berjalan saja dengan tenang. Jangan menoleh bila tidak ingin dicurigai. Mereka adalah orang yang waspada meski terlihat santai."

Louis menuruti instruksi Ashton lalu berjalan dengan tak acuh melewati orang-orang itu. Meski orang-orang itu terlihat asyik dengan kartu yang mereka mainkan tapi Louis bisa merasa diawasi dengan tajam.

"Aku sudah berada di ruang berkas."

"Aku segera kesana,"Balas Louis melalui alat komunikasinya.

Langkah kaki Louis teratur dan lebar namun tidak terkesan terburu-buru hingga menarik perhatian. Matanya terus bergerak memperhatikan sekitar. Ia memasang indra pendengarannya lebar-lebar agar bisa mendengar bunyi gerak sedikitpun dan langsung bersikap sigap.

"Ada yang datang! Jangan kesini!"

Louis melebarkan bola matanya saat tiga orang terlihat membuntuti seseorang ria berambut ikal panjang yang sudah ia kenal. Harry Styles.

"Sudah terlambat untuk berbalik. Aku akan berkamuflase menjadi pengawalnya."

Tadinya, sebisa mungkin Louis ingin menghindari Harry. Bukan karena ia takut tapi karena ia tidak bisa menahan emosinya untuk menghajar pria brengsek itu setiap kali melihatnya. Tapi ia tidak bisa berbalik mundur. Jarak mereka sudah terlalu dekat. Justru Louis akan dicurigai bila pergi begitu saja sementara satu-satunya ruangan di lantai ini hanya mengarah ke ruang berkas.

Seorang pria menyenggol lengan Louis saat ia sudah bergabung dengan mereka. "Bagaimana anakmu?" bisiknya

Louis memalingkan wajah. Pria yang mengajakkanya bicara adalah Sagan Mortez. Teman baik si pria yang sedang Louis tiru. Beruntung sebelumnya Louis sudah menghapal profil-profil mereka. Pria yang ia tiru bernama Andreas. Sudah dua hari yang lalu mengajukan cuti untuk menemui anaknya yang sakit. Tapi fakta tragisnya, Andreas telah mati dalam kecelakaan saat menuju rumah sakit. Mobilnya terbakar dan tubuhnya hancur tak bisa dikenali. Meskipun orang seperti mereka harus menyembunyikan identitas satu sama lain, yang artinya tidak akan tersebar kabar kematiannya kecuali perwakilan Black Boyle datang mencaritahu, cukup menyedihkan karena ada seseorang yang mengenalnya. Teman yang mungkin satu-satunya Andreas miliki selain anaknya yang penyakitan. Tapi bahkan mereka tak tahu bila orang yang mereka kenal sudah mati, malah mengajak ngobrol orang yang meniru temannya.

"Dasar pria berhati dingin! Aku tahu kau memegang teguh prinsip untuk tidak membicarakan hal personal saat bekerja tapi aku kan penasaran!"

"Diam lah, bodoh! Suaraku berbeda dengan temanmu meskipun topeng yang kupakai sangat sempurna. Aku tidak mau ketahuan karena semua ini harus berakhir sempurna!" omel Louis dalam hati. Ia mengabaikan Sagan dan masuk menuju ruangan berkas bersama-sama.

7 Days (One Direction Fanfiction)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum