12

36K 3.2K 51
                                    

Matahari sudah mulai terlihat di ufuk timur, menandakan sudah pagi, Kini Salwa tengah sibuk melipat mukenah yang tadi ia kenakan untuk shalat subuh jamaah di masjid.

Kini ia harus sudah membiasakan diri dengan kehidupan di lingkungan pesantren, Salwa berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan, pasalnya kepalanya masih agak terasa pusing entah apa sebabnya.

Sementara Raka sejak selesai shalat subuh tadi sudah sibuk mengurusi santriwati yang kemarin kesurupan, tiga Santriwati itu terlihat gugup berada di depan Raka yang kini tengah menatap mereka dengan tajam.

"Jadi bisa kalian jelaskan siapa pemilik barang ini?" Tanya Raka serius.

Salwa hanya mengintip kejadian langka yang mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidupnya.

"Tidak ada yang akan menjelaskan?" Tambahnya dengan nada mengintimidasi.

Tiga Santriwati itu hanya diam dan menundukkan kepalanya "kalian semua bisu?" Kata-kata pedas Raka sepertinya sekarang sudah mulai keluar.

"Itu punya saya gus" jawab seorang santriwati baru yakin.

Raka menatap santriwati itu sinis.
"Kenapa kamu membawa barang seperti ini kesini?" Tanyanya sembari meletakkan boneka jailangkung itu dengan kasar.

"Hanya untuk main-main aja gus" lanjutnya tanpa rasa bersalah.

Raka menghela nafasnya, entah apa yang dipikirkan gadi didepannya ini.
"Kamu ini santriwati baru disini, dan kamu bahkan berani membawa barang seperti ini ke area pondok pesantren?"

Novi, ia memang baru masuk pondok satu minggu yang lalu, gadis asal Banjarmasin ini sebenarnya tidak memiliki minat untuk masuk kedalam pondok pesantren, tapi ia dipaksa oleh orangtuanya.

"Dan kalian berdua, kalian ini sudah lama mondok disini, tapi kenapa kalian melakukan hal semacam ini?" Cecarnya yang membuat kedua santri wati itu diam tak berkutik.

"K-Kami pikir, ini cuman permainan biasa gus, kami tidak ada pikiran jika permainan seperti ini bisa benar-benar memanggil arwah dan membuat kami kesurupan kemarin malam" jelas salah seorang santriwati dengan gugup.

Raka menghela nafas beratnya untuk yang kesekian kalinya.
"Kalian ini benar-benar sudah membuat saya kecewa, kalian tidak benar-benar serius dalam menerima pendidikan yang kami berikan di pondok ini, kalian ini seharusnya tahu jika permainan seperti ini sama saja seperti kalian menduakan Allah." tutur Raka dengan serius.

Sebenarnya ini bukan tugasnya tapi tugas Abinya, karena Abi dan uminya tak kunjung pulang dari acara kajian rutinan.

Raka kemarin malam sempat menghubungi mereka, dan mereka sepakat untuk memberikan tanggung jawab masalah ini pada Raka. Sekaligus mereka ingin tahu bagaimana cara Raka dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam pondok.

"Saya benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran kalian" ucap Raka kecewa.

"Kalian ingin mendapatkan hukuman yang seperti apa?" Lanjutnya dengan tegas

Dua santriwati itu hanya diam dan menundukkan kepalanya, tapi tidak dengan Novi. "gus bisa mengeluarkan saya dari pondok ini" ucapnya lantang seolah memang ini tujuannya dari awal.

Ini semua memang hanya akal-akalan Novi agar ia bisa dikeluarkan dari pondok, ia sudah muak dengan semua hafalan dan peraturan-peraturan yang menurutnya sangat tidak masuk akal.

Ia ingin hidupnya bebas, tanpa harus mengenakan pakaian panjang semacam ini, ia sangat rindu hari-harinya yang hanya ia gunakan untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.

Tidak seperti di pondok pesantren ini yang setiap harinya hanya ada hafalan, kajian, dan berbagai kegiatan yang menurutnya sangat aneh dan membosankan.

Ia bahkan tak bisa berbicara dengan lawan jenisnya di sini, bahkan hanya sekedar bertemu pun tidak bisa.

Sebenarnya sudah beberapa kali ia mencoba kabur dari tempat ini, tapi ia selalu saja tertangkap basah oleh para pengurus pondok yang super duper menyebalkan.

Raka menatap Novi dengan tajam, sekarang ia tahu mengapa Novi melakukan hal ini "hafalan kalian saya tambah satu rai setiap hari selama satu bulan, dan kalian bertiga harus membersihkan lapangan dan semua kamar mandi yang ada di area pondok putri selama satu bulan ke depan. Dan untuk tambahan, kalian harus hafalkan satu kitab ini." Terangnya panjang lebar

*Rai = Halaman

"saya berikan kalian waktu satu minggu untuk menghafalkan semua isinya" ujar Raka sembari memberikan sebuah kitab yang agak tebal pada setiap Santriwati yang ada dihadapannya

Novi membelalakkan matanya, menatap kitab itu saja sudah membuat Novi merasa mual, apalagi jika ia menghafal kitab itu.

"Gus udah gila ya , buku setebal ini harus dihafal dalam waktu satu minggu? Bisa meledak otak saya" bantah Novi tak terima.

' harus dikasih piala Oscar nih si Novi, nyalinya gede banget' batin Salwa yang masih mengintip

"Mbak Salwa" panggil Hani dari belakang yang membuat Salwa kaget.

"Astaghfirullah" ucapnya sembari menengok ke arah Hani.

"Nggak masak mbak? Umi kan belum pulang jadi nggak ada yang masak, nanti kalau Hani yang masak yang ada malah jadi racun bukannya makanan" sahut Hani dengan tawa kecil di bibirnya.

"Iya bentar lagi Mbak ke dapur, nanggung ini kalo di tinggalin, kamu ke dapur aja dulu nanti mbak nyusul."

Hani mencoba mengintip apa yang sedang Salwa lihat, memang jarang-jarang pemandangan langka ini bisa dinikmati secara gratis, Hani pun ikut mengintip tepat di belakang Salwa

*****

"Gini ya mbak ?" Tanya Hani sembari menunjukkan potongan bawang pada Salwa.

"Iya, mbak ke kamar mandi dulu ya, nanti kalau telurnya udah agak kecoklatan kamu angkat terus kamu tirisin di sini" titah Salwa sembari menaruh spatula yang ada di tangannya ke dalam tirisan yang berada di dekat penggorengan.

Setelah pergelutan Salwa dan Hani dengan dapur selama beberapa jam. Kini masakan yang sudah mereka siapkan dari pagi sudah siap, meskipun hanya sayur sop, dengan lauk tempe dan telur mata sapi.

Mereka tetap merasa bangga karena ini pertama kalinya mereka memasak tanpa sang umi dan rasanya tak kalah enak dari masakan Fatimah.

"Mbak panggil gus Raka dulu ya, kamu makan aja dulu nggak apa-apa." ucap Salwa setelah selesai menata piring dan sendok ke atas meja makan.

Salwa berjalan menghampiri Raka yang terlihat tengah membakar boneka milik santriwati baru yang bernama Novi tadi di halaman belakang rumah.

"Gus" panggil Salwa agak keras takut-takut Raka tak dapat mendengar suaranya.

"Makannya udah siap, lebih baik gus makan dulu sebelum berangkat ngajar." lanjut Salwa yang kini sudah berada tepat di sebelah Raka.

Raka menghela nafasnya.
" Lebih baik saya kelaparan daripada harus makan makanan yang kamu buat " jawab Raka yang tak mengalihkan pandangannya dari tempatnya membakar boneka.

apa sekarang Salwa sudah boleh menoyor kepala Raka?

Ra.Sa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang