7. Sebuah Alasan

220K 40.1K 25.2K
                                    

Hai Hai Hai! Selamat malam!!

Gimana persiapan lebarannya? Dah pada mudikk??

Absen hadir dulu temannssss

Komen dan bintangmu semangatku 🫶🏻

****







Sepulang dari rumah Canva sejak lima belas menit yang lalu, Marvel tidak berhenti menggeledah rumahnya hingga membuat beberapa barang yang semula tertata rapi kini berubah menjadi berantakan. Pagi-pagi sekali, cowok itu sudah dibuat panik karena satu hal. Keringat dingin pun turut menyertai kebingungannya saat ini. Rasanya, nyawa di tubuhnya seolah akan diambil sekarang juga kalau apa yang dicarinya tidak kunjung dia temukan.

Dengan langkah yang lebar, Marvel kini berpindah ke lantai dua. Dia menaiki tangga dengan napas yang ngos-ngosan. Wajahnya benar-benar pias. Dia sangat ketakutan sekarang.

"MARVIN!" panggil Marvel saat dirinya sampai di depan kamar cowok itu. Karena tak kunjung mendapatkan respons, akhirnya dia memilih untuk langsung membuka pintu kamar kembarannya. Namun, nihil. Tidak ada batang hidung Marvin di sana. Ke mana cowok itu pergi di pagi-pagi buta seperti ini?

Marvel kian panik. Namun, dia sedikit beruntung karena ternyata ayahnya tidak bermalam di rumah, melainkan di kantor. Jujur, dia cukup malas untuk menjelaskan jika ayahnya bertanya tentang apa yang tengah terjadi sekarang.

"Di mana sih?" Marvel mengacak rambutnya kasar. Dia kembali melangkahkan kaki ke kamar, meski dia tahu kalau apa yang dicarinya tidak ada di sana. Mengingat kemarin dia lupa untuk meletakkan apa yang sekarang tengah dicarinya ke tempat yang semestinya.

Merasa putus asa, Marvel pun menyandarkan punggungnya pada tembok kamarnya. Kemudian, dengan perlahan, tubuhnya itu mulai meluruh ke lantai. Dengan kedua kaki yang ditekuk, dia membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya yang bertumpu pada lutut.

Marvel putus asa. Setiap sudut rumahnya sudah dia periksa untuk mencari apa yang diinginkannya saat ini. Namun, ternyata itu semua tidak membuahkan hasil sama sekali.

"Bunda...," gumam Marvel terdengar begitu pelan. Kedua tangannya benar-benar terasa dingin sekarang. Bahkan tubuhnya pun bergetar hebat karena terlalu panik sejak tadi.

Miawww

Marvel terkesiap. Dia sontak mengangkat pandangannya ketika mendengar suara itu. Tepat saat dia menoleh ke samping, senyum di bibirnya langsung melebar saat itu juga. Tangannya terulur untuk mengambil anak kucing berbulu lebat warna oranye lalu meletakkannya ke dalam gendongan. Dia memeluknya erat, seolah tidak ingin kehilangan kucing itu lagi dari jangkauannya.

"Ih, mau nangis," ledek Marvin yang berdiri di pintu kamar Marvel dengan wajah meledek ke arah kembarannya itu. Sungguh, dia tidak habis pikir dengan sikap Marvel. Cowok itu berusaha tegar di hadapannya padahal dia tahu kalau Marvel tidak jauh beda dengan dirinya.

"Vel, Vel. Kucing lo gue ajak main bentar di taman belakang. Dia berisik. Pas gue tanya, dia jawab kalau lagi kangen sama lo. Makanya jangan nginep mulu di rumah Canva," jelas Marvin.

Marvel merengut. Dia menurunkan kucingnya dari gendongannya. "Jangan ajak main kucing gue."

Marvin mendelikkan matanya. "Dih, itu kan kucing kita sebenernya."

"Salah. Kucing lo udah mati duluan," balas Marvel kesal. Kucing oranye yang dia miliki sekarang dulu memang memiliki saudara. Namun, saudara dari kucingnya itu sudah mati karena Marvin tidak telaten dalam hal merawat hewan.

MARVELUNA: Let's Fly Together!Where stories live. Discover now