22. Rahasia Pertama dari Marvel

141K 22.8K 7.5K
                                    


Hai hai hai! CIMOL-CIMOLKU APA KABAR?

APAKAH KALIAN MASIH SETIA SAMA CERITA INI?

Spam : Kangen

Selamat membacaaaaa 😍😍💖💖💖💖

(Kalau lupa alurnya nyampe mana silakan baca part sebelum ini dulu, ya, alias part 21)

******




Hujan merupakan salah satu peristiwa alam yang paling Luna benci. Entah butuh berapa lama lagi agar dia dapat terbiasa dengan suara jatuhnya air dan hebatnya suara petir. Dulu, jika hujan turun dengan lebatnya, ada sosok Amina yang akan senantiasa begitu hangat memeluk tubuh ringkihnya. Untuk sekarang, semua itu belum pernah dia rasakan lagi. Bahkan saat ini, Luna masih tetap duduk meringkuk dengan membenamkan kepalanya di sela-sela lututnya yang tertekuk itu.

Cewek itu menangis sambil menggigit lengan jaketnya untuk menahan isak tangisnya. Dia sendirian di sana. Terkunci di luar karena Permana tidak kunjung pulang ke rumah. Tentu saja pria itu tengah melakukan hal-hal tidak berguna di luar sana yang terkadang justru sangat kerepotkan anaknya. Luna tertekan, sungguh. Dia ingin pergi jauh dari ayahnya, tapi sayang hatinya tidak sekejam itu. Luna yakin kalau Permana seperti itu karena depresi dengan bangkrutnya perusahaan mereka dan perginya Amina dari kehidupan mereka karena tidak siap hidup menderita.

Dari sini Luna tahu bahwa cinta Amina tidak pernah tulus ke mereka. Ya, semuanya hanya persoalan harta.

"Ngapain kamu di situ? Masih lebay seperti dulu? Hujan biasa, kok, sampai segitunya."

Luna sontak menegakkan kepalanya saat mendengar kalimat sarkas yang mengusik telinganya. Suara Permana. Entah sejak kapan ayahnya itu berdiri tepat di hadapannya tanpa raut iba atau bersalah sedikit pun di wajah yang mulai keriput itu. Permana benar-benar telah berubah. Bahkan, Luna merasa kalau Permana yang dulu memang sudah mati. Orang yang berada di hadapannya sekarang bukanlah ayahnya lagi, melainkan orang asing tempramental yang baru kenal kemarin.

"Terserah Ayah aja." Luna menghapus air mata di wajahnya dengan kasar. Jawabannya itu menghadirkan seringaian kecil di bibir milik Permana yang terlihat seperti menggampangkan rasa traumanya terhadap hujan.

"Anak jaman sekarang memang terkesan lebay. Tidak seperti Ayah dulu. Umur segitu malah sudah bisa bekerja ke sana ke mari supaya dapat banyak duit sambil sekolah. Sedangkan kamu? Uangnya diambil sedikit saja sudah nangis-nangis lebay. Berlagak kayak paling menderita aja. Apa yang kamu rasakan sekarang itu belum ada apa-apanya sama Ayah dulu. Dari kecil, kamu sudah bisa makan enak. Sedangkan Ayah? Nasi sama garam saja sudah bersyukur," cerocos Permana.

Luna terkekeh pelan mendengar penuturan ayahnya yang justru mengadu nasib mereka. Padahal, jelas saja mereka tumbuh di zaman yang berbeda. Bukannya memerankan sosok ayah seperti dulu, Permana terkesan seperti meminta dirinya untuk tidak sering mengeluh sehingga bisa menghasilkan banyak uang untuk keperluan judi ayahnya itu. "Setidaknya, orangtua Ayah dulu nggak kayak orangtua Luna sekarang."

Permana terdiam sebentar. "Orangtua kamu? Maksudnya Ayah? Saya ini nggak baik buat kamu, Luna?"

Luna berdecih pelan. "Ayah baik, kok. Tapi, itu dulu. Sekarang benar-benar mirip iblis!"

Permana mengepalkan kedua tangannya. Emosinya memuncak. Dia geram bukan main dengan perkataan lancang putri sematawayangnya itu. "Berani-beraninya kamu berbicara seperti itu kepada Ayah! Mau dihajar pakai cara apa, kamu, hah?!"

Sadar kalau ucapannya sudah kelewatan batas, Luna pun memutuskan untuk berdiri. Dengan tubuh yang gemetar, dia berjalan menyamping tanpa memutuskan pandangan matanya dari pupil gelap milik ayahnya itu. Kemudian, dengan gesit, dia pun berlari menjauh dari hadapan ayahnya itu sebelum terjadi hal-hal yang tidak dia inginkan. Tak peduli dengan rintikan hujan yang masih terus turun juga kilatan petir menyeramkan yang semakin membuat langkah kakinya terasa begitu berat karena ketakutan. Tidak. Dia tidak boleh lemah. Ya, tidak boleh terlihat seperti anak tidak berguna di mata kepala ayah kandungnya sendiri.

MARVELUNA: Let's Fly Together!Where stories live. Discover now