32. Confess

102K 16.9K 4.2K
                                    


Hai hai hai! Selamat malam, Cimolll 😍😍

Apa kabar kalian semua? Semoga selalu baik, ya!!!

Vote dan komennya jangan lupa 😘

Absen: HADIR

*****

Luna tiba di rumahnya dengan kondisi yang sangat berantakan. Make up tipis di wajahnya yang luntur karena rembesan air mata, rambut yang sebagian telah lepas dari kunciran, dan kedua mata yang membengkak karena terlalu lama menangis. Dia berjalan lunglai memasuki rumahnya yang gelap gulita. Namun, entah kenapa hatinya merasa yakin kalau Permana ada di dalam sana. Apakah kali ini Luna harus marah pada ayahnya lagi? Kalau boleh jujur, dia sangat lelah bertengkar dengan Permana. Namun, ayahnya benar-benar sudah keterlaluan kali ini.

"Kenapa? Sudah tahu beritanya?"

Suara berat penuh intimidasi itu menyambut kehadiran Luna yang hampir memasuki kamar. Dia menoleh ke belakang, mencari keberadaan ayahnya. Tak lama setelah itu, lampu rumah mereka pun menyala, menampakkan Permana yang berdiri di dekat tembok yang menjadi sekat antara area ruang depan dengan kamar.

"Anak itu nggak akan mati, Lun. Nggak usah lebay. Ayah hanya melampiaskan emosi karena tidak terima dihina oleh Bajingan itu," seloroh Permana disertai wajah santainya yang seolah tidak pernah melakukan hal buruk apa-apa.

Luna berdecih pelan mendengar penurutan ayahnya. "Yang dibilang Om Galvin juga bener, kan? Ayah masih mau mencari pembelaan?"

"JANGAN MEMANCING EMOSI AYAH!" Darah yang mengalir dalam tubuh Permana kembali mendidih. Luna selalu saja berhasil memancing amarahnya. Anak itu seolah tidak peduli dengan semua hukuman yang bisa saja dirinya berikan.

Luna mengusap air matanya yang kembali mengalir begitu saja di pipinya. Kali ini, dia menatap kedua mata ayahnya dengan sorot yang sendu. "Luna udah capek, Yah. Luna... udah capek banget."

Kedua bahu Luna mulai bergetar. Cewek itu kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Luna selalu berharap keluarga kita kembali kayak dulu lagi. Ayah sama Ibu yang hangat, dan Luna yang nggak pernah kekurangan kasih sayang. Luna nggak apa-apa kalau ekonomi kita nggak sebaik dulu lagi, tapi setidaknya kalian tidak berubah total seperti ini. Kalau bunuh diri nggak dosa... mungkin Luna udah ngelakuin itu dari lama...."

Permana terdiam. Dia terus memandangi anak semata wayangnya yang menangis hebat sampai tubuh ringkih itu gemetaran. Ingin sekali dirinya memeluk tubuh itu, mencium kening anaknya seperti kebiasaannya dulu, dan menggendong Luna ke sana ke mari jika sedang diliputi rasa bahagia. Namun, untuk sekarang, tubuhnya terasa begitu kaku. Tidak bisa bergerak sama sekali. Ego dalam hatinya telah melunturkan semua sifat hangatnya. Bahkan untuk kembali seperti dulu lagi, rasanya sangat tidak mungkin.

"Luna harap, Ayah bisa berubah secepatnya. Setidaknya, jangan membuat hidup Luna semakin berantakan." Luna memejamkan kedua matanya sembari berusaha menetralkan napasnya yang tersendat isakan tangisnya. "Dan... Luna harap Ayah bisa nemuin Ibu untuk kembali ke keluarga kita lagi."

Setelah mengatakan itu, Luna kembali membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Dia tidak tahu kalau kepergiannya itu berhasil membuat Permana meneteskan air mata.

"Ayah bahkan selalu mencari ibumu setiap hari, Luna...," lirih Permana yang hanya bisa didengar olehnya.

*****

Marvih dan Canva memutuskan untuk tidak berangkat sekolah lantaran lebih memilih untuk menjaga Marvel di rumah sakit. Kondisi cowok itu tidak parah. Hanya lebam-lebam biasa yang sudah sering Marvel dapatkan ketika mengikuti tawuran dengan geng-geng Chayton. Bahkan, nanti siang, Marvel sudah diizinkan untuk pulang dengan syarat harus banyak istirahat di rumah agar lekas pulih.

MARVELUNA: Let's Fly Together!Where stories live. Discover now