39. Maafkan Kami, Ayah

92.5K 18.3K 3.2K
                                    



Hai hai hai!
Absen "hadir" sebelum bacaaa xixi

*****

Jogging pagi setiap pukul setengah enam sudah menjadi rutinitas Marvel setiap harinya. Apalagi di waktu weekend seperti sekarang yang bisa membuat cowok itu baru berhenti olahraga di pukul sepuluh nanti. Marvel sangat menyukai kegiatan ini untuk merefresh pikirannya yang kacau balau setiap hari. Dengan earphone yang menempel di telinganya, dia berlari santai mengitari daerah asrama dengan peluh yang membanjiri seluruh tubuh. Kaos putih tipisnya yang basah karena keringat itu memperlihatkan bentuk tubuh proporsionalnya. Tubuh yang tinggi, kedua lengan yang cukup berotot, dada yang bidang, dan perut six pack-nya itu kerap kali mencuri perhatian para kaum hawa yang tidak sengaja berpapasan dengannya.

Marvel berhenti di pinggir jalan saat napasnya mulai tersendat. Dia membungkuk sejenak untuk mengatur pasokan oksigen yang masuk ke rongga dadanya. Sudah 45 menit lamanya dia tidak berhenti untuk istirahat. Setelah dirasa napasnya mulai kembali normal, dia pun mengedarkan pandangan. Seperti biasa, ada banyak sekali orang yang juga melakukan jogging pagi setiap weekend tiba.

Marvel mengacak kasar rambutnya yang basah karena keringat sambil merogoh saku celana training hitam panjang yang dia kenakan untuk mengambil ponselnya. Sejak tadi, dia terus mendengar bunyi notifikasi pesan masuk. Namun, karena memang sedang fokus dengan joggingnya, Marvel memilih untuk mengabaikan saja.

Setelah Marvel membuka pesan masuk di ponselnya, ternyata Astonlah yang mengirimkan banyak pesan di sana. Dan di antara banyaknya pesan itu, ada salah satu kalimat yang membuatnya terkejut bukan main hingga kakinya terasa lemas begitu saja.

Bapak kambuh lagi, sekarang di rumah sakit.

*****

Marvel dan Marvin tidak punya pilihan lain selain berangkat ke Jakarta hari itu juga. Setelah sama-sama mendapat kabar kalau Galvin jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, keduanya panik bukan main dan sepakat untuk segera berangkat. Dan saat ini, mereka sudah berada di depan ruang rawat Galvin setelah sempat berbicara dengan dokter tentang penyakit jantung yang diderita oleh ayah mereka.

Marvel duduk di kursi dengan menundukkan kepalanya dalam. Sementara Marvin berdiri menyandar pada tembok dengan pandangan kosong ke depan. Kedua remaja itu sama-sama merasa bersalah juga bingung harus berbuat apa sekarang.

Marvel dan Marvin tidak ingin kehilangan Galvin.

Mereka takut akan ditinggalkan oleh seseorang yang begitu penting dalam hidup mereka, untuk yang kedua kalinya.

Cukup Gentari. Cukup Gentari saja yang Tuhan ambil. Untuk Galvin, mereka tidak akan pernah bisa. Meski mereka juga kesal dengan sikap pria itu, tapi sebagai seorang anak, mereka tentu sangat menyayangi Galvin dan ingin pria itu bisa menemani mereka hingga tua.

"Semua ini gara-gara lo, Vel!"

Bentakan itu tiba-tiba keluar dari bibir Marvin. Dia menatap kakaknya dengan sorot penuh amarah. Kedua tangannya mengepal erat, menandakan bahwa dia sangat marah sekarang. Dadanya bahkan naik turun dengan ritme yang cepat karena emosi.

"Ayah selalu berharap kalau lo bakalan nerusin bisnisnya! Tapi lo justru milih jadi pilot! Dan sekarang apa? Ayah jatuh sakit karena keegoisan anak-anaknya!" kelakar Marvin.

Marvel menatap bengis adiknya itu, kemudian ikut berdiri. Dia melangkah menghampiri Marvin, lalu mencengkeram kerah kemeja adiknya sekuat mungkin. "Lo nyalahin gue, hah? Lalu gimana sama diri lo? Ngaca, Vin! Dibanding gue, lo yang lebih nyusahin Ayah!" bentaknya ikut emosi.

Aston, Jaylan, dan Norman yang semulai berdiri di ujung lorong, kini berlari menghampiri dua anak majikan mereka itu. Hampir saja Marvin melayangkan pukulan ke arah Marvel kalau saja Jaylan tidak sigap menahan tangan anak itu. Sementara Aston menarik Marvel ke belakang dan Norman berdiri di tengah-tengah mereka semua.

"Tolong jangan bertengkar. Ini rumah sakit dan Bapak sedang istirahat di dalam. Bapak akan semakin sedih kalau tahu anak-anaknya malah saling menyalahkan seperti ini. Kalian sudah dewasa dan Bapak sudah membebaskan kalian memilih jalan masing-masing. Jadi, saya mohon, tolong mengerti keadaan ini," jelas Norman dengan tegas juga penuh permohonan. Bertahun-tahun bekerja sebagai bawahan Galvin membuatnya sangat menyayangi majikannya itu. Dan saat Galvin sakit seperti sekarang, dia juga ikut menderita.

"Bapak sempat senang karena tahu kalau kalian sudah akrab seperti waktu kecil. Tapi, sekarang apa? Kalian justru bertengkar lagi dengan keegoisan masing-masing. Saya nggak peduli kalau setelah ini Bapak akan memecat saya karena ketahuan memarahi kalian. Tapi, saya melakukan ini benar-benar dari hati yang paling dalam untuk kebaikan kalian. Setidaknya jika tidak bersedia meneruskan bisnis Bapak, tolong jadi anak yang baik untuk membahagiakan Beliau. Bapak sudah tua dan butuh kehadiran anak-anaknya di usia yang sekarang."

Marvel dan Marvin terdiam. Tangan yang sempat mengepal itu perlahan memudar. Emosi yang semula menguasai diri mereka juga mulai reda. Apa yang diucapkan Norman memang benar. Galvin jatuh sakit seperti ini juga karena keegoisan mereka demi mempertahankan mimpi masing-masing.

"Ayah...." Tetesan air mata perlahan mengalir begitu saja dari sudut mata Marvin. Bersamaan dengan itu, tubuhnya juga meluruh ke lantai, membuat Jaylan yang semula mencekal tangan cowok itu kini menyingkir dan membiarkan Marvin duduk di lantai.

Marvin mencengkeram kepalanya dengan perasaan marah pada dirinya sendiri. Masalah ini terjadi karena mereka terlalu sibuk memikirkan diri sendiri tanpa pernah tahu bagaimana rasanya menjadi Galvin. Anak macam apa dia dan Marvel sampai membuat ayah mereka sendiri jatuh sakit karena anak-anak pria itu yang begitu bodoh?

"Maafkan kami, Ayah...," lirih Marvel lalu tenggelam dalam kesedihannya.

*****

Malam ini hujan kembali turun dengan derasnya. Namun, seorang cowok yang duduk di taman rumah sakit itu belum memberikan tanda-tanda untuk pergi dari sana. Dia membiarkan tetesan air membasahi tubuhnya. Tidak peduli dengan hawa dingin yang menusuk permukaan kulitnya. Cowok itu hanya diam saja dengan pandangan lurus ke depan dan terlihat seperti sedang banyak pikiran.

Ada apa? Apa yang salah dengannya? Kenapa semua orang seperti berlomba-lomba untuk meninggalkannya?

Marvel tidak tahu takdir apa yang dirancang Tuhan untuknya. Cobaan hidupnya sudah terlampau berat bahkan hampir membuatnya tak sanggup untuk melewati semua ini.

Dulu Gentari, lalu Canva, dan Luna yang mulai menjauh darinya. Kemudian Galvin? Kenapa pria itu juga memberikan tanda untuk pergi dari sisinya? Apa kebahagiaan memang tidak pantas didapatkan oleh Marvel?

Pikiran Marvel benar-benar kacau sekarang. Sejak tadi, Luna juga tidak bisa dihubungi. Nomor cewek itu tidak aktif. Selalu saja seperti ini. Entahlah, Marvel merasa kalau cewek itu sengaja menghindarinya.

Saat-saat seperti ini, Marvel selalu berharap ada Canva yang akan menemaninya. Cowok itu sudah berjanji untuk menjadi orang paling setia kepadanya. Namun, nyatanya? Canva juga memilih pergi dari hidupnya.

Vel, nanti kalau gue udah nggak bisa nemenin lo, tolong jangan berpikir kalau lo bakalan sendirian, ya? Gue pergi bukan sebenar-benarnya pergi. Kapan pun, di mana pun, gue selalu ada di samping lo, Vel.

Marvel tertawa hambar. Dia masih mengingat jelas perkataan Canva saat baru selesai melakukan cuci darah kala itu. Canva selalu membuatnya merasa aman. Bahkan tanpa harus melihat kehadiran sahabatnya itu dengan matanya.

"Semoga lo beneran ada di sini ya, Va. Gue lagi butuh banget soalnya," gumam Marvel pada angin yang berembus kencang.

*****

Spam: 🥺

Kasian ya

MARVELUNA: Let's Fly Together!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang