19. Kembar yang Tak Serupa

175K 28.5K 18.5K
                                    

Hai hai hai! Selamat malam!

Gimana kabar kalian moll? 😻😻
Semoga baik yaaaaa

Absen HADIR dulu biar klop

Semoga selalu sabar menanti cerita ini, ya 💓

Bintang dan komenmu semangatku

******



Saat ini, Marvel sudah duduk di depan ruang rawat rumah sakit setelah melalui proses yang melelahkan. Kebut-kebutan di jalan untuk menjemput Marvin yang tiba-tiba menelepon dan mengerang kesakitan, memesan taksi online, kemudian membawa adiknya itu untuk diperiksa ke rumah sakit. Dugaannya benar, riwayat penyakit maag Marvin yang sudah akut tiba-tiba kambuh di tengah perjalanan. Untung saja dia tidak berada jauh pada tempat di mana Marvin memutuskan untuk berhenti daripada terjadi hal-hal yang lebih tidak diinginkan.

Kata Dokter yang tadi sempat berbincang dengan Marvel, dia harus sering-sering mengingatkan adiknya agar tidak telat makan. Belakangan ini, dia memang kurang memperhatikan Marvin sampai akhirnya cowok itu jatuh sakit. Semua ini memang salahnya karena tidak dapat membagi waktu dengan baik. Antara untuk sekolah, ayahnya, Marvin, dan juga Luna. Namun, untuk ke depannya, dia pastikan Marvin tidak akan berakhir seperti ini lagi.

Setelah puas berperang dengan pikiran sendiri, Marvel memutuskan untuk berdiri, membawa kedua kakinya melangkah masuk untuk menemui Marvin di dalam sana. Tepat ketika pintu kamar rawat itu terbuka, dia melihat Marvin yang tengah berbaring dengan tatapan kosong menatap langit-langit ruangan. Dia pikir, cowok itu sudah tertidur. Rupanya malah melamun seperti itu.

"Kenapa?" tanya Marvel sembari menutup pintu dengan begitu pelan.

Marvin menolehkan pandangannya, menatap kakaknya itu masih dengan tatapan kosong. Tidak lama setelah itu, embusan napas berat keluar dari bibirnya. "Sorry, Vel," ucapnya pelan.

Marvel mengerutkan keningnya. Saat ini, dia sudah berdiri di sebelah brankar yang ditiduri Marvin. "Tidur," perintahnya.

Marvin menipiskan bibirnya. Kedua tangannya yang berada di atas perut itu saling menaut. Jika tengah sakit begini, ada banyak hal yang berkecamuk di pikirannya hingga membuatnya susah untuk sekadar memejamkan mata. "Kalau dipikir-pikir... gue ini anak yang nggak penting di keluarga kita, ya, Vel?" tanyanya tiba-tiba.

"Berisik." Marvel membuang pandangannya. Kemudian, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa untuk duduk di sana. Topik pembicaraan seperti inilah yang paling dia benci. Saat di mana Marvin mulai merendahkan diri, lalu membuat Marvel semakin membenci dirinya sebagai seorang kakak.

"Gue terlalu bebas, Vel. Bahkan, Ayah nggak pernah ngajakin gue buat ngobrolin masa depan. Ayah bilang, semua tergantung kemauan gue. Ayah nggak mau nuntut. Tapi dengan cara itu, gue ngerasa nggak pernah diacuhkan. Bahkan ditanya tentang belajar di kelas aja enggak. Sebebas itu sampai gue bingung sama hidup gue ke depannya nanti."

Marvel memilih untuk geming. Membiarkan adik satu-satunya itu untuk mengeluarkan isi hati yang selama ini dipendam.

"Gue juga tahu kalau jadi lo pasti berat. Bahkan nggak dikasih celah sedikit pun buat ngeraih apa yang lo impikan. Sebetulnya, kita ini sama. Caranya aja yang beda. Coba aja Ayah bisa menempatkan posisinya tepat di tengah-tengah antara kita berdua."

Marvin termasuk orang yang jarang sekali berbicara serius. Bahkan, setiap kali Marvel mengajaknya untuk serius, dia selalu menanggapinya dengan candaan. Namun, kali ini berbeda. Ada guratan lelah yang tercetak jelas di wajahnya. Bahkan, pandangan matanya pun tidak berbinar seperti biasanya. Hanya berisi kekosongan yang menghadirkan kehampaan.

MARVELUNA: Let's Fly Together!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang