38 - Janji

14.4K 978 13
                                    

Suara decit pintu terbuka. Kimora yang sebenarnya masih terjaga membiarkan orang yang membuka pintu itu masuk ke dalam kamarnya. Aroma familiar itu masuk ke dalam Indra penciumannya. Kimora hapal dengan bau itu. Tubuhnya meremang saat kedua tangan besar itu masuk ke dalam baju tidurnya tanpa tahu malu. Merasakan bagaimana Gio mulai memeluknya dan mencium tengkuknya membuat Kimora risih.

"Sebentar saja." Bisik Gio meminta Izin. Tangannya mulai membelai perut Kimora dan bibirnya melengkung ke atas, menikmati apa yang saat ini sedang ia kerjakan.

Dengan posisi intim dan dengan ia yang membelai perut Kimora membuat Gio merasa sangat dekat dengan belahan jiwanya.

"Aku akan pergi." Bisik Gio tepat di telinga Kimora. Keduanya tenggelam dalam keheningan beberapa saat.

"Kali ini aku benar-benar akan pergi. Mungkin untuk waktu yang lama."

Mata Kimora terbuka tapi ia masih memilih diam.

"Besok hari ulang tahunmu. Aku sudah menyiapkan kado untukmu. Kau tidak akan bisa menolaknya meski membencinya sekali pun." Tangan Gio beralih mengelus Surai lembut milik Kimora. Menikmati aroma gadis itu mengisi setiap indera penciumannya.

"I always want you more, Kim."

Kimora menggigit bibirnya dalam. Memaksakan bibirnya untuk diam dan membiarkan Gio berlaku seenaknya. Perlakuan yang tanpa sadar sudah membuatnya terbiasa.

"Jangan berpikir untuk lepas dariku, Kim. Kau tidak akan pernah lepas dariku."

Kimora merasakan pelukan Gio mengerat dan ia mulai gelisah saat dirundung sesak. Gio mencium tengkuk Kimora dan membalik paksa tubuh Kimora menghadapnya.

Mata Kimora bertubrukan dengan mata kelam milik Gio. Pria itu menatapnya dengan tatapan mendamba tapi bukannya merasa bahagia, Kimora malah semakin takut. Seolah pasokan udara sekitarnya menipis tiba-tiba, apa lagi saat tangan Gio bermain dan membelai wajahnya saat itu juga Kimora berhenti bernafas.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Kim. Tidak selama aku hidup." Perkataan Gio diiringi dengan tatapan tekad yang kuat hingga Kimora merinding di buatnya.

Kimora membuang wajahnya ke samping dan kembali berbalik memunggungi Gio tanpa bicara lebih lanjut.

Gio kembali menarik Kimora masuk ke dalam dekapannya, membuat punggung Kimora menempel di dadanya. Kali ini ia berbisik di telinga Kimora.

"Kita akan bersamanya selamanya, Kim."

Kimora mematung.

"Tapi jika kau ingin lepas dariku." Gio menjeda ucapannya sebentar.

"Maka bunuh aku."

Nafas Kimora tersendat. Seperti dipaksa keluar tapi ia kesulitan menghirup udara.

Gio menangkup tangan Kimora yang sudah sedingin es batu, memebelainya pelan untuk membuat tangan itu kembali hangat.

Keduanya kembali diam untuk waktu yang lama, sejatinya Kimora memang diam sejak awal.

Waktu terus berjalan. Kedua insan itu masih memilih diam menikmati kedekatan mereka di keheningan malam. Tatapan keduanya menatap kosong pada jendela Kamar Kimora yang menampilkan langit malam yang tenang.

Masih dalam kegelutan Kimora sibuk memikirkan apa yang akan terjadi besok atau apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tapi yang pasti hidup Kimora tidak akan pernah tenang.

Besoknya Kimora terbangun sendiri.

Tidak ada Gio yang menemaninya tidur seperti semalam. Matahari sudah bersinar terik menandakan hari sudah cukup siang.

Menghalau sinar itu masuk ke dalam matanya Kimora bangkit dari tidurnya.

Seorang pelayan datang menghampirinya dan membantu Kimora seperti hari-hari sebelumnya.

Seperti ucapan Gio semalam. Laki-laki itu benar-benar menghilang seperti di telan bumi. Entah Kimora harus merasa bahagia atau kehilangan. Ia tidak mengerti dengan perasaannya lagi.

Ia hanya merasa kosong. Lebih kosong dari hari sebelumnya.

-o-

Tatapan Gio terpaku pada jalan yang hanya menampilkan pemandangan membosankan. Tangannya bermain-main pada pematik api di tangannya yang ia buka dan tutup tanpa ada kejelasan, memberikan bunyi teratur yang mengusik keheningan. Sementara sopir di depan beberapa kali melirik ke arahnya sedikit menyadari aura mendung dari tuan mudanya.

Keadaan luar masih cukup gelap karena hari memang belum menjelang pagi. Gio berangkat lebih awal hanya karena ia mungkin tidak akan tahan berlama-lama di rumah sementara pikiran gilanya terus menggodanya untuk menculik Kimora agar ikut bersamanya.

Gio hampir gila saat sesuatu di dalam dirinya terus mendesaknya untuk mengikat Kimora disisinya entah dengan cara apa pun.

Mobil yang ditumpangi Gio berhenti mendadak saat beberapa mobil mendadak mengepung mobilnya dari segala arah.

Matanya menyipit, melirik sekilas ke beberapa arah untuk memastikan. setelah paham dengan keadaan ia mulai menyandarkan punggungnya ke belakang. Bibirnya melengkung tipis, seolah ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Berbeda dengan Gio yang terlihat sudah siap, sopirnya sudah menatap was-was sekitar dengan ketakutan. Ia melirik Gio yang tampak tenang-tenang saja sementara ia sudah berkeringat dingin.

Beberapa pria berbadan besar keluar dari mobil-mobil itu hingga akhirnya seorang pria yang memiliki tubuh lebih kecil dari lainnya keluar paling akhir, tidak butuh waktu lama untuk mengenali pria itu dan tidak butuh banyak alasan kenapa pria itu melakukan ini padanya.

Tentu saja ini adalah pembalasan untuk Gio.

Melihat sopirnya di tarik paksa dari mobil dan di pukul hingga tersungkur tidak membuat Gio bergeming sedikit pun hingga pintunya sendiri dibuka oleh pimpinan pria-pria itu.

"Merindukanku?"

Gio mendengus. Si Joker sudah kembali. Pria yang memiliki wajah cerah tapi jauh lebih iblis darinya. Gio sedikit menyesal tidak membunuh pria ini dengan sungguh-sungguh.

"Halo kakak ipar." Sapa Gio tersenyum ramah.

Wajah Axel berubah mendung seketika. "Aku benar-benar akan mengirimmu ke neraka!" Tekan Axel penuh dendam.

Tangannya mencengkram kerah Gio dan menariknya keluar dari mobil. Satu pukulan membuat Gio tersungkur ke aspal hingga mulutnya berdarah. Gio merasakan bibirnya kembali robek, luka pukulan ayahnya masih belum sembuh dan Axel memperparahnya.

"Sudah kubilang kau tidak cukup kuat melawanku." Tekan Axel dengan mata penuh dendam.

Gio hanya menatap Axel dalam kebisuan, tidak ada pembelaan atau apa pun. Bahkan saat Axel mengkode semua pria berbadan besar itu mendekatinya, Gio hanya diam.

"Aku akan membuatmu merasakan neraka dariku dulu sebelum merasakan neraka sesungguhnya." Kecam Axel berapi-api.

Gio tersenyum penuh keangkuhan. Matanya menikmati setiap sinar kebencian di mata Axel. Tidak seperti Axel yang terlihat berapi-api ingin segera menghabisinya. Gio hanya melirik bosan sekitarnya sebelum matanya kembali menatap Axel masih dengan raut wajah angkuh miliknya.

"Do it." Tantangnya tanpa rasa takut sedikitpun.

-o-

Aku usahain Up lebih banyak Minggu ini. ☺️

Sin of obsessionWhere stories live. Discover now