43 - Luka

15.1K 905 19
                                    

Nafas Kimora memburu. Tubuhnya tersentak dan ia bangun dengan tubuh penuh keringat. Matanya menatap langit-langit kamar yang ia tempati. Ruangan serba putih dan bau obat-obatan mulai menguasai alam sadarnya. Mata Kimora melirik panik.

Sudah selesai.

Sudah beberapa hari sejak ia melakukan aborsi tapi perasaan, pikiran dan mentalnya masih teramat kacau. Kimora selalu bangun dengan perasaan yang sama. Selalu berpikir ia bangun dari operasi yang sama untuk kesekian kalinya. Untuk pertama kalinya ia merasa semua dosanya terus mengejarnya dan membelitnya hingga Kimora merasa dipenuhi oleh karma.

Dengan nafas yang masih naik-turun Kimora meraba perutnya.

Hilang.

Kimora tertawa sinis. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia benar-benar menjadi penjahat untuk kisahnya sendiri.

Ia bahkan sudah bosan untuk menghina dirinya sendiri.

"Kau sudah sadar?" Axel datang dan masuk ke kamarnya dengan membawa keranjang buah. Laki-laki itu kembali bersikap manis pada Kimora.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Axel dengan raut wajah ramah miliknya.

Kimora melengos, memilih untuk melihat ke arah sisi lain.

Kacau.

Bisakah Kimora mengatakan itu. Karena tidak ada orang yang bisa mengerti dirinya saat ini. Bahkan ia pun sadar sudah menjadi seorang pendosa.

Axel tertawa sinis menanggapi tingkah Kimora.

"Kau menyesal?"

Melirik Axel, Kimora hanya memutar bola matanya sebentar. "I need more time." Gumamnya.

Axel hanya membalas dengan dengusan mengejek yang tidak kentara. Ia tahu Kimora tampak amat menyesal. Ia pikir itu hanya gejala awal, tapi sepertinya bagi Kimora itu berkepanjangan.

"Okay." Tanpa bermaksud mengganggu. Axel mengangguk paham dan segera berjalan mundur meninggalkan Kimora sendiri disana.

Selalu seperti itu.

Mendengar pintu tertutup. Kimora hanya bisa menghela nafas sebelum dengan pelan beranjak dari atas tempat tidur dan bergerak meraih kursi roda miliknya. Setelah melewati sedikit kesulitan Kimora berhasil duduk disana dan bergerak keluar.

Melewati beberapa lorong rumah sakit akhirnya Kimora sampai pada tujuannya.

Masuk ke dalam sebuah ruangan Kimora menggigit bibirnya hingga menimbulkan perih. Ia benar-benar seorang penjahat.

Air mata Kimora jatuh dan ia segera menghapusnya dengan wajah tampak lebih tegar. Tidak ada ucapan maaf karena Kimora cukup malu untuk mengatakan kata itu.

Di depannya. Gio terbaring koma.

Axel memang menepati janjinya untuk tidak membunuh pria itu, tapi tidak untuk melukainya. Dan disinilah Gio berakhir.

Tepat saat Gio memasuki rumah sakit dengan keadaan luka parah, saat itu juga Kimora bersiap melakukan proses aborsinya. Saat itu Kimora benar-benar merasa kalut, tapi meski begitu. Ia tetap melanjutkan pilihannya. Mungkin dunia akan membencinya setelah apa yang ia lakukan atau mungkin ia sudah dikejar oleh karma dan dosanya, tapi akan lebih menyakitkan jika ia memilih mempertahankannya.

Gio atau pun dirinya. Hubungan yang mereka miliki adalah sebuah kesalahan.

Hubungan yang sudah salah sejak awal tidak mungkin memiliki akhir yang baik.

Kimora yakin akan hal itu.

Terlalu banyak yang dirugikan sejak hubungan itu dipaksakan.

Entah apa yang akan terjadi jika mereka memilih bertahan. Kimora hanya berpikir agar keduanya bisa melangkah untuk lebih fokus pada diri masing-masing. Di saat mereka bahkan belum bisa menentukan mana yang salah dan benar, bagaimana mungkin mereka bisa menjadi orang tua yang baik.

Terlebih ia paling ragu pada dirinya sendiri.

"Seharusnya kau tidak kemari."

Tubuh Kimora mematung. Perasaan gugup menghampirinya dan ia selalu merasa bersalah. Kimora berbalik pelan dan tersenyum tipis saat ia bertatapan dengan Aslan yang tampak kacau tidak seperti biasanya.

"Tuan Xergio." Kimora bergumam kecil.

"Kau memilih untuk pergi, maka jangan pernah kembali, Kim. Ia sudah cukup hancur hingga merasa tenang dalam tidurnya sekarang. Apa itu belum cukup untuk membalas semua yang ia lakukan padamu?"

Kimora diam. Cukup terpojok untuk setiap kata yang keluar dari mulut Aslan.

"Aku tidak mau menghakimimu. Putraku memang sudah banyak berulah tapi..." Aslan mengunci bibirnya. Wajahnya menyiratkan kekecewaan yang teramat.

Kimora menunggu setiap lanjutan ucapan Aslan dalam diam. Tapi melihat Aslan yang sepertinya akan terus memilih bungkam Kimora akhirnya membuka suara. "Apa kau menyalahkanku?"

Aslan menatap Kimora cukup lama. Ia terdiam, pikirannya beradu hingga ia melanjutkan percakapan mereka.

"Aku tidak mau menyalakanmu. Jika menggugurkan janin itu adalah cara penyelesaian terbaik untukmu maka mungkin kau benar." Aslan tersenyum getir cukup menekan segala ego dalam dirinya untuk menyuarakan apa yang sebenarnya ia rasakan.

"Kita hanya memiliki cara penyelesaian masalah yang berbeda." Hanya itu yang bisa pria paruh baya itu katakan. Ia tahu gadis di depannya adalah orang yang paling berhak atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri, tapi meski begitu ia cukup merasa kehilangan. Putranya yang kini di ambang kesadarannya dan calon cucunya yang sudah benar-benar hilang.

"Aku hanya berpikir untuk memulai semuanya seperti awal." Kimora menahan nafas saat ucapan itu keluar dengan lancar.

"Kau bahkan bisa memulai itu meski tetap mempertahankannya." Aslan melengos, memilih untuk melihat ke arah lain saat hatinya kembali diremas. "Aku tidak memintamu untuk merawatnya jika kau tidak mau, tapi cukup biarkan ia lahir. Aku akan mencukupi semua kebutuhannya meski tanpa dirimu."

Tatapan Aslan beralih kembali pada Kimora. "Aku bukan orang yang kekurangan dalam hal materi dan aku bukan orang egois yang tidak memikirkan kondisimu, aku bersedia mencari jalan terbaik, cukup pikirkan dengan kepala dingin. Tapi seperti yang kukatakan sejak awal. Kita hanya memiliki cara penyelesaian masalah yang berbeda."

Ini adalah luka besar bagi seorang yang pernah kehilangan anggota keluarganya. Aslan hanya memiliki Gio disisinya, saat mendengar ia akan memiliki cucu meski dengan cara yang salah. Ia tetap bahagia.

Melihat bagaimana tatapan sendu Aslan dan senyuman tegar milik pria paruh baya itu membuat Kimora benar-benar dipenuhi perasaan bersalah. Kali ini ia benar-benar merasa hina dan merasa menjadi pendosa besar.

Kimora menunduk. Mencoba untuk menahan segala bulir air matanya yang siap tumpah.

"Maaf... " Tubuhnya bergetar.

Pria paruh baya itu bergerak mendekati Kimora. Ia merasa sesak atas apa yang terjadi terlebih saat melihat putra semata wayangnya terbaring sekarat di atas tempat tidur itu dengan begitu banyak alat bantu untuk menopang hidupnya.

Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan gadis yang tampak rapuh di hadapannya ini.

Aslan hanya merasa gagal sebagai orang tua disini. Ia seharusnya berperan penting dalam merangkul anak-anaknya. Tapi ia gagal.

Menahan air matanya, Aslan menepuk bahu Kimora pelan untuk sekedar menguatkan.

"Kembalilah ke kamarmu." Katanya memberi Saran.

Kimora mengangguk patuh dan ia segera mendorong kursi rodanya meninggalkan kamar rawat itu.

Melihat kepergian Kimora dan berbalik melihat Gio yang masih tampak tenang, membuat Aslan hanya bisa berharap agar keduanya memiliki hidup yang baik setelah ini.

Tepat saat Kimora meninggalkan ruang rawat milik Gio dan kembali ke kamarnya. Axel muncul dari arah lain dengan sorot mata membunuh.

Bibirnya tidak tahan untuk tersenyum sinis menanggapi apa yang dilihatnya. Ia memang berhasil menjauhkan keduanya, tapi tidak dengan perasaan Kimora.

-o-

Lama gak ketemu semoga yang kangen terobati. 🥺

Sin of obsessionOnde as histórias ganham vida. Descobre agora