62 - Budak dan Raja

15.3K 1K 52
                                    

Ini gila.

Kimora mencengkram kertas di tangannya hingga remuk di beberapa tempat. Matanya menatap tajam ke arah Gio yang masih duduk manis di depannya dengan wajah tersenyum menawan.

Kimora tersenyum sinis. Pikirkanlah Kim, Gio tidak bodoh dan ia memang selicik itu. Seharusnya ia sudah menduga kalau Gio tidak akan semudah itu menerima bujuk rayunya. Pernikahan masih bisa ia akhiri saat keadaan sudah membaik, Kimora dapat dengan mudah menceraikan Gio. Tapi ini—

"Surat perjanjian?" Tanya Kimora dengan nada tenang.

"Pernikahan tidak menjamin kau akan terus berada di sampingku. Percayalah aku sudah memikirkannya sebaik mungkin, atau kau lebih suka hidup terkurung dengan kaki dirantai."

Kimora tidak pernah membayangkan opsi pilihannya akan seburuk ini. Yah, Gio tidak pernah waras. Pria itu gila, sayangnya pria gila itu dianugerahi dengan otak yang pintar dan sifat yang licik. Dua anugerah yang benar-benar merugikan Kimora.

"Seharusnya kau tidak keberatan jika kau tidak berusaha untuk lari dariku lagi."

"Tapi ini konyol." Desis Kimora geram. Bagaimana mungkin ia menandatangani surat perjanjian yang jauh lebih cocok disebut dengan surat kepemilikan budak.

"Aku bukan budak."

"Kim, aku menjadikanmu ratuku."

Kimora tertawa sinis. Tidak ada ratu yang diperlakukan sepertinya. "Lalu kau rajanya?"

Gio diam tapi semua yang ada padanya memang menekankan hal itu. Sepertinya pria itu cukup percaya diri tanpa harus menjelaskan.

Tidak masuk akal jika Kimora mau menandatangani surat perjanjian yang menyatakan jiwa dan raganya adalah milik Gio seutuhnya. Apa jika ia mati Gio akan bersekutu dengan iblis untuk mencuri jiwanya? Konyol!

Tidak ada satupun kebebasan dari isi surat perjanjian itu untuknya. Bahkan Kimora tidak diperbolehkan memotong rambutnya sendiri. Saat ia menandatangani surat itu. Bukan hanya kebebasannya, ia bahkan kehilangan hidupnya dan hak kepemilikan atas dirinya sendiri.

"Ini melanggar hukum."

"Apa kau berencana melarikan diri."

Kimora tertegun. Perasaannya mendadak cemas saat mata itu menyorot tajam padanya.

Tidak, Kimora tidak mau membuat pria itu marah lagi. Kali ini ia mungkin tidak akan sanggup menghadapinya.

Mencoba mengalah, Kimora memasang wajah memelas terbaiknya. Setidaknya mungkin Gio akan sedikit luluh. "Apa pernikahan tidak cukup untukmu?"

Gio menoleh ke samping seraya berkata. "Aku bahkan ingin merantaimu."

Sial!

"Apa kita tidak bisa hidup normal? Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentangku."

Dan Kimora buru-buru menutup mulutnya saat aura gelap itu kembali menyelimuti Gio. Kali ini sorot matanya jauh lebih dalam, Kimora bahkan merasa seolah ditarik tenggelam oleh mata itu.

"Merantaimu."

Sudut bibir Kimora berkedut, ia ingin mengumpat tapi tubuhnya sudah lebih dulu gemetar. Respon tubuhnya benar-benar menggambarkan seorang pecundang.

Gio berkedip untuk beberapa kali, pria itu berusaha kembali tersenyum dan berusaha merubah sorot matanya  menjadi lebih lembut. Sepertinya pria itu berusaha menyadarkan dirinya sendiri, atau mungkin karena menyadari ketakutan gadisnya.

"Jika kehidupan normal yang kau maksud adalah seorang istri harus patuh dan meminta izin pada suami sebelum melakukan sesuatu. Bukankah itu sama seperti yang kita lakukan." Ucapannya terdengar bijak.

"Tapi ada harga dari setiap pelanggaran di perjanjian ini. Ini tidak normal." Tolak Kimora keras. Percuma menyembunyikan sifatnya yang satu ini. Kimora tidak bisa melunak saat sifat keras kepalanya muncul ke permukaan.

"Dan apa kau pikir para suami di luar sana tidak menghukum istrinya yang tidak patuh?"

Kimora terdiam. Ia juga tidak tahu banyak tentang apa yang terjadi di luar sana dan ia tidak memiliki pengalaman. Tapi sejauh ia melihat pernikahan orang tuanya. Tidak ada yang baik dari pernikahan itu.

"Mereka akan memaafkannya." Kimora bahkan tidak mempercayai ucapannya sendiri. Ayahnya jauh lebih bajingan saat ibunya berbuat salah.

Gio tertawa remeh. "Betapa naifnya."

Dengan langkah lebar ia bergerak mendekati Kimora. Menarik dagu gadis itu untuk segera menjatuhkan ciumannya di atas bibir manis itu.

"Aku akan selalu menuruti keinginanmu, Kim. Tapi semua tergantung bagaimana caramu membuatku senang."

Bisakah ia hidup tenang? Kimora membatin sendiri. Ia bersumpah ia benar-benar hanya ingin sebuah ketenangan. Tidak masalah jika mereka hidup bersama tapi mampukah Gio bersumpah akan menjaga ketenangannya?

Kimora terlambat menyadari saat bibirnya sekarang sudah berpindah ke belakang telinga Kimora. "Atau kau lebih suka menempati posisi kemarin. Kau suka cara yang kasar?"

Tubuh Kimora mendadak kaku, kini Gio sudah merengkuh tubuhnya masuk ke dalam pelukan pria itu. Layaknya ular yang melilit mangsanya, Kimora hanya bisa pasrah saat Gio menciumi tubuhnya dan menghirup aroma tubuhnya sepuas yang ia mau.

Kimora bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mampukah Kimora bertahan? Mendadak ia meringis sendiri saat kata-kata itu seperti menelannya hidup-hidup.

"Yang harus kau tahu Kim. Saat kau menyerahkan dirimu padaku. Saat itu semua yang ada padamu adalah milikku."

Saat Gio mengelus wajah Kimora dengan sangat halus ditengah ketegangan keduanya, saat itu juga Kimora kembali mempertanyakan keputusannya

"Melepaskanmu adalah hal yang mustahil bagiku. Aku akan selalu memperlakukanmu dengan baik tapi jangan pernah berbalik menyerangku. Aku bersumpah kau tidak akan pernah suka. Jadi—"

Kimora menggigit bibirnya sendiri hingga sedikit tergores tapi tidak sampai berdarah. Cukup menyakitkan dan cukup menyadarkannya bahwa semua ini adalah nyata.

"Ayo tanda tangani."

Pandangan Kimora kosong, dengan gampangnya Gio kembali menyodorkan kertas itu padanya. Gio menggiring Kimora kembali duduk dengan tenang. Tangannya menggenggam jari jemari Kimora, menuntunnya untuk menggenggam pena tinta yang sudah tersedia.

Tidak perduli sekaku apa Kimora saat ini. Gio tidak akan pernah puas sampai tanda tangan Kimora sudah mencoret kertas itu.

Tidak perduli bahkan saat bahu rapuh itu bergetar dalam rangkulannya.

Ia akan tetap mempertahankan gadis itu disisinya.

Air mata Kimora jatuh saat ia benar-benar menandatangani surat perjanjian itu. Surat perjanjian itu bahkan lebih mengerikan daripada akta pernikahannya nanti.

"Kau tidak perlu menangis." Tangannya menghapus air mata Kimora dan menarik sebagian rambut Kimora kebelakang punggung pemiliknya.

"Thank you, my love." Ucapnya setelah menjatuhkan ciuman di pipi Kimora.

Ia merasa jauh lebih tenang sekarang.

-o-

Emang udah ada rencana mau up double hari ini. Hadiah buat yang always pantengin Gio.

Sin of obsessionWhere stories live. Discover now