44 - 7 tahun kemudian

17.8K 958 97
                                    

7 tahun kemudian.

Kimora meletakkan beberapa tangkai bunga ke dalam vas dengan bersenandung ria. Pakaian putih gadis itu sudah bercampur dengan warna-warni cat lukis yang sudah menjadi bagian hidupnya.

Suara dering ponselnya membuat fokus Kimora terpecah. Ia mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan Video yang baru ia terima.

"Hi, Sweety." Sapaan riang dari dua pria muda di layar ponselnya menyapa.

Kimora terkekeh mendengar godaan itu. Dua pria muda itu adalah adik kembarnya yang kini sudah remaja.

"Kapan kau kemari?"

Kimora tersenyum tipis menanggapi pertanyaan yang biasa ia terima.

"Dasar keras kepala. Kau tidak rindu mama?" Nakula mendengus kasar ia memang lebih mirip Axel dengan sikap kasarnya.

Sempat berdebat akhirnya kini Sadewa yang mendominasi layar. "Kau baik-baik saja?"

Kimora tersenyum manis menanggapi pertanyaan penuh nada khawatir milik adiknya itu. Ah, Sadewa dengan segala sikap perhatiannya. Meski jarang bicara, terkadang Kimora akui ia lebih sering berdebar akibat perhatian dari adiknya itu. Pria muda itu tidak sadar jika memiliki aura Casanova dari dalam dirinya.

"Kalian hanya ingin menanyakan itu?" Kimora memiringkan kepalanya cukup menantang keduanya untuk segera berucap maksud dari panggilan usil keduanya yang mengusik paginya.

"Kami merindukanmu." Dengus Nakula tidak sabaran seperti biasa.

"Aku akan segera menyusul."

Terdengar erangan keduanya. "Kau mengatakan itu hampir setiap tahun." Ucap keduanya terdengar bosan.

Kimora hanya menggidikkan bahunya sebelum dengan paksa menutup panggilan itu.

Setelah panggilan terputus. Ia menghela nafasnya dan matanya menyusuri galeri lukisan miliknya. Sudah tujuh tahun sejak kejadian paling tragis di hidupnya.

Disaat semua menata hidup mereka kembali normal termasuk Gio. Kimora merasa masih terkurung disini. Ia seperti terkunci di kota ini dan semakin kesulitan keluar. Bahkan udara luar terasa mengerikan untuknya.

Entah apa yang menahannya. Kimora merasa sesak setiap kali ia mencoba meninggalkan kota ini. Seperti ada sesuatu yang mencoba menahannya disini.

Setelah percakapan terakhir Kimora dan Aslan. Gadis itu benar-benar tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapan Gio, meski begitu hubungannya dan Aslan masih terjalin baik. Aslan banyak memberi kontribusi pada hidupnya. Membimbingnya layaknya seorang ayah. Hal yang mungkin tidak pernah Kimora dapatkan dari mendiang ayahnya terdahulu.

Enam tahun yang lalu setelah ibunya sadar dan kembali sehat, semua anggota keluarganya memilih pindah ke Amerika mengikuti pekerjaan Axel, hanya Kimora yang memilih untuk tidak ikut. Ia juga memilih untuk memulai jalan hidupnya sendiri dengan menjadi seorang pelukis dan guru lukis untuk beberapa murid pilihannya.

Sementara Gio. Lima tahun yang lalu setelah sadar dari komanya, Gio segera pergi ke luar negeri untuk menjalani hidup barunya. Kimora tidak terlalu tahu banyak hal. Karena hanya itu yang Aslan ceritakan padanya.

Kimora pun tidak pernah bertanya. Ia hanya sekedar mendengarkan tanpa ada niatan menimpali atau ikut masuk ke dalam topik setiap kali Aslan berbicara tentang Gio.

Kimora benar-benar menutup rapat masa lalunya.

"Pagi yang sempurna dan kau sudah dipenuhi dengan warna."

Ujung hidung Kimora disentuh mawar yang disodorkan pelaku padanya.

Kimora memutar bola matanya dan menerima mawar itu dengan terpaksa. "Kau yang datang dan merusak pagiku."

Andreas menggidikkan bahunya acuh. Ia duduk di atas meja yang membuatnya di posisi lebih tinggi dari Kimora yang duduk di kursi biasa.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Kimora tanpa basa-basi.

Andreas mengerucutkan bibirnya dengan lucu seolah sedang berpikir. "Bagaimana jika untuk menggodamu?" Kekehnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Kimora memutar bola matanya. Cukup jengah dengan tingkah playboy satu itu.

"Aku tidak berminat mengencani pria yang masih meminta uang pada ayahnya. Lebih baik aku memacari ayahmu sekalian dari pada anaknya yang tidak berguna." Bangkit berdiri, Kimora beranjak menuju vas bunga yang lain untuk mengganti bunga mawar disana.

Andreas mendengus kasar. Merasa terhina tapi tidak mengelak. "Kau tahu aku sudah mencoba yang terbaik." Rajuknya mengekori Kimora.

Kimora menggeleng kepalanya. Tidak habis pikir dengan usaha yang Andreas maksud karena Kimora sangat tahu maksudnya adalah berusaha di atas papan judi.

"Kim, apa kau bisa meminjamkanku sedikit lagi."

Seperti biasa. Helaan nafas Kimora terdengar lelah. Andreas selalu begini. Pria ini tidak ada kemajuan dari tahun ke tahun. Sifatnya yang kecanduan judi membuat ayahnya tidak pernah mempercayakan apa pun padanya.

"Kau tidak punya? Kalau begitu bantu aku membujuk Anna."

Tatapan Kimora menajam penuh peringatan. Tidak suka saat nama Anna dibawa-bawa. Setiap kali Andreas datang menemui Anna. Keduanya selalu berakhir dengan perkelahian dan mabuk di bar. Dan selalu Kimora yang kerepotan.

"Kau seharusnya berhenti berjudi. Ayahmu tidak akan pernah memberikan pekerjaan padamu jika kau terus begini."

Mendengar nasihat Kimora, Andreas hanya bergerak mengejek dengan menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri.

Cukup menghela nafas Kimora beranjak dari sana dan membereskan sisa bunga untuk kembali ia kemas.

Andreas melirik buket bunga yang sudah Kimora kemas seadanya namun tetap tampak rapi. Dengusan sinis tercipta diwajahnya.

"Kau cukup dekat dengan tuan Xergio untuk orang yang pernah menjadi luka dan dilukai."

Kimora tidak bergeming di tempatnya untuk beberapa saat. Wajahnya berubah sendu dan perasaan bersalah kembali menyelimutinya. Kimora tidak pernah suka saat Andreas atau pun Anna yang sedikit banyak tahu ceritanya mengungkit kembali luka lama.

"Kau tahu kau tidak salah, Kim. Berhenti menyalahkan dirimu. Pria tua itu mungkin saja hanya memanfaatkanmu."

Tatapan keduanya beradu tajam. Kimora tidak suka saat ada orang yang menjelekkan Aslan sementara ia bahkan begitu menghormati sosok yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri.

"Pria tua itu bukan ayahmu, Kim. Kau tidak harus mengorbankan waktumu untuk mengurus pria jompo itu."

Raut wajah Kimora amat jujur tanpa ada niatan ia tutupi sedikit pun. Kimora kesal. Mengesampingkan benar atau salah ucapan Andreas. Kimora hanya tidak suka saat ada orang yang mempertanyakan apa yang ia kerjakan atau lakukan.

"Maka sama halnya denganmu, kau bukan keluargaku maka tidak ada keharusan darimu mempertanyakan apa yang kulakukan."

Kimora melangkah meninggalkan Andreas yang masih menggeram marah.

"Keras kepala!" Hardik Andreas kesal.

-o-

Comment next yang mau aku Up lagi malem ini.  🙈🙉

Sin of obsessionWhere stories live. Discover now