47

161 15 1
                                    

Sorak sorai melandai bersama bunyi ceklikan kamera. Saling berebutan tentang mana yang lebih menarik perhatian dari sosok yang kini ditimpa cahaya silau berungkali.

Jackson, pria itu baru saja tiba di tanah air.

Sambil tersenyum ramah, Jackson menoleh ke berbagai arah. Melayani begitu banyak panggilan yang ingin menangkap gambar terbaik dari kedatangannya.

Memasang beberapa pose untuk diabadikan kamera yang meyorotnya, Jackson kemudian membungkuk sopan seraya dirinya bergegas masuk, menjejalkan dirinya yang terbungkus pakain tebal ke dalam jok mobil yang sudah menunggu.

"Auh, itu melelahkan sekali," keluhnya memasang tampang ogah-ogahan.

Dari tempatnya duduk di jok mobil yang bergerak pergi, Jackson menyugar rambutnya dengan tampang angkuh, berbeda sekali dengan senyuman ramah yang ia pertontonkan di hadapan wartawan tadi. Kendati begitu, seulas senyum tertarik di bibirnya. Jelas bukan senyuman manis seperti yang diharapkan. Tapi senyuman licik yang bisa mengundang denyar takut bagi beberapa orang yang melihat.

Mengetuk-ngetukkan ujung jari pada lengan kursi, Jackson rasanya tak bisa sabar. Ia begitu bersemangat dengan apa yang akan ia lakukan. Membalas dendam. Menuntaskan keinginannya.

Kemalut amarah membungkus semangat Jackson untuk berkobar. Seiring ketukan pada jarinya, bibirnya juga bergerak senada menggumamkan sesuatu.

Gina, Gina, Gina.

Nama itu melekat erat dalam kepalanya.

Jackson mungkin tidak akan seobsesi ini pada Gina andai gadis itu tidak memperburuk keadaannya. Selain hinaan Gina yang begitu telak mengenai Jackson dulu dan membuat pria itu tak pernah lagi mendapat kepuasaannya di atas kasur karena terbayang-bayang kalimat cemohan Gina itu, Jackson juga dibuang oleh sang ayah. Diusir ketika sang ayah bersama rekan bisnisnya yang kebetulan tengah mengadakan perjamuan di halaman belakang datang menemui dan menemukannya dalam keadaaan kelewat memalukan. Telanjang bulat-bulat.

Bisa dibilang ayah Jackson itu seorang businessman terpandang. Punya aset dari bermacam-macam industri seperti fashion, hotel, property, dan entah yang lainnya. Sedangkan memiliki Jackson sebagi sosok anak adalah lubang terbesar dalam karirnya. Harus ditambal dan disembunyikan agar tidak membuat malu. Kendati begitu anak tetaplah anak, sang ayah tidak bisa lepas tangan begitu saja dengan berbagi masalah yang Jackson buat. Dan untuk mendisiplinkan Jackson, sang ayah memilih mengusir Jackson sebelum kemudian sengaja mendebutkannya menjadi seorang publik figur agar tak berulah. Agar Jackson sadar ada banyak mata yang mengawasinya hingga ia perlu menperhatikan lakunya. Namun bak bumerang, rencana itu justru berbalik ketika lagi-lagi Jackson bertingkah. Menggali kuburannya sendiri dengan menculik seorang gadis.

Bodoh. Tak berguna!

Itu yang Jackson dengar terakhir kali dari sang ayah sebelum ia dikirim pergi ke Jepang sementara sang ayah mengurus masalah yang ia timbulkan.

Selalu.

Selalu seperti itu.

Senyuman bernuansa ganjil lantas terbit lebih lebar di wajah Jackson saat pria itu menghentikan ketukan jarinya pada legan kursi dan fokus memandangi apa yang ada di layar ponselnya sekarang.

Tidak bohong, tapi Jackson bisa merasakan efek ekstasi menggempur dadanya kini. Senang bukan main hanya dengan melihat sesuatu yang ada di layar ponselnya itu.

Sekarang Jackson sudah mengetahui segalanya.

Tidak ada lagi celah untuk gagal.

Ia akan mendapatkannya.

Sedikit lagi.

Hingga beberapa detik setelahnya, ponsel Jackson berbunyi. Tak ayal berhasil mencetak kemenangan di wajah sang empu.

Destiny With Bangtan (COMPLETED)Where stories live. Discover now