20

619 60 1
                                    

"JANGAN!!"

Gina berteriak. Memekik. Tubuhnya terhentak bangun dengan posisi terduduk. Nafasnya tersengal-sengal. Jantungnya bertalu-talu dalam rongga dada. Peluh mengucur deras membasahi tubuh. Pelipis serta keningnya basah. Wajahnya stagnan. Gadis itu habis mimpi buruk.

Nafas menderu itu terus terdengar untuk beberapa detik sampai akhirnya Gina memejam erat dengan telapak memegang dada guna menenangkan diri.

Layar ponsel yang berada di atas nakas sudah menunjukkan pukul satu malam, tepatnya sudah tujuh jam lamanya gadis itu tertidur sejak kepulangannya dari gedung Bighit tadi.

Tak lama berdiam diri di atas benda empuk itu akhirnya Gina beringsut turun, menapakkan tungkainya pergi menuju teras tempat tinggalnya, tempat yang sekiranya dimana ia bisa menghirup udara segar guna mengenyahkan hiruk pikuk kegelisahan tadi sambil memanjakan mata menyaksikan hamparan kerlap kerlip gemintang di langit malam.

Gadis itu bersandar pada tembok pembatas, mendongak menatap langit. Ada jutaan titik titik cahaya yang berpendar-pendar di atas sana."Apa di sana jauh lebih baik?" tanyanya. Memberi jeda sesaat lalu tersenyum hambar sembari bermonolog,"Sepertinya...."

Entah terbawa angin lalu ataupun perasaan lama-Senyumnya seketika luntur, sorot matanya pun berubah senduh."Aku berjuang di sini sendirian." Suara Gina begertar. Terdengar amat nemilukan bila merembes masuk ke pendengaran. Pelupuk matanya sudah tergenangi cairan bening dan cukup sekali erjapan maka cairan itu akan terjun bebas membasahi pipi tanpa bisa dihentikan.

"Semua yang kualami pasti terlihat dari sana bukan?" lirihnya. Masih mendongak memandangi langit.

"Yeah, awalnya terasa begitu sulit, sangat sulit bahkan. Tapi, hebatnya aku masih bisa bertahan." Gina kembali terdiam. Berusah keras menahan perih yang menjalari netranya juga rasa sesak yang menggerogoti relungnya. Membuat genangan air di pelupuk mata berhasil merembes keluar tanpa sungkan, mengalir lembut menuruni kedua belah pipinya.

Hening sejenak. Potongan-potongan kejadian lama kembali menyeruak mengisi ingatan. Sekuat apapun Gina coba melupakan hal itu nyatanya ia tidak akan pernah berhasil, justru terus menghantuinya setiap saat.

Sepersekon detik berikutnya Gina menghela nafas panjang, menghapus kasar air matanya, lalu melepas senyum lebar."Jangan khawatir, aku baik-baik saja."

Ini sudah hampir pukul dua pagi kala gonggongan anjing kompleks mulai menyeruak mengisi keheningan malam. Hingga akhirnya Gina kembali masuk ke dalam kamar setelah beberapa menit memandangi langit, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

"Eoh? Kau belum tidur?" ucapnya sedikit kaget ketika orang itu menjawab panggilannya dalam sepulu detik sambungan.

"Belum. Ada apa menelfon selarut ini? Apa terjadi sesuatu lagi?" balas seseorang di seberang sana.

"Tidak. Aku hanya terbangun karena mimpi buruk dan entah mengapa aku malah memikirkanmu." Gina bersuara pelan.

"Aku akan ke sana," putus orang itu tiba-tiba.

Gina menggeleng tegas ditempatnya. "Tidak! tidak. Jangan kesini!" sergahnya. Sungguh, niat awalnya Gina cuman mau miscall, gak berharap banyak, gak berharap panggilannya akan dijawab, apalagi sampai membuat pria itu datang.

"Aku akan tetap ke sana." Orang itu juga berucap sama tegasnya.

"Aku serius, Yoonki-ah. Jangan ke sini. Ini sudah larut malam," ungkap Gina secepatnya sebelum Yoongi benar-benar memaksakan diri menerobos jalanan malam seperti awal-awal pertemuan mereka dulu.

Tak ada suara dari Yoongi. Ponsel itu hening untuk beberapa detik.

"Gina-ya." Yoongi memanggil, lirih.

Destiny With Bangtan (COMPLETED)Where stories live. Discover now