25

612 54 0
                                    

Semilir angin musim gugur mulai berhembus dengan hawa dinginnya menusuk tulang. Menyergap kesegalah arah tanpa terkecuali. Merangsek masuk ketiap celah yang ada. Gina mulai menyilangkan kedua tangannya di depan dada guna menepis dinginnya udara. Kunciran rambut yang biasa tersemayam di kepalanya pun sudah ia lepaskan agar rambut hitam nan tebal sepunggunhnya itu dapat menutupi lehernya yang terekspose oleh udara dingin.

Ditengah gelapnya malam, berbalut piyama hijau muda serta bawahan celana abu bercorak gambar gajah Gina melangkahkan tungkainya menyusuri jalanan panjang penuh keheningan menuju kos tempat tinggalnya. Ia baru pulang dari berbelanja beberapa  stok makanan di minimarket. Awalnya Gina hanya berniat mendatangi minimarket yang terdekat saja sebab itu ia berpakaian seadanya, toh pikirnya itu tak jauh dan tak akan memakan waktu lama, namun nyatanya minimarket yang ia datangi itu justru kehabisan stok Indomie, sedang Gina menginginkan produk itu, yeah jadinya Gina harus melangkah lebih jauh dengan pakaian seadanya ke minimarket yang menyediakan sesuatu yang dicarinya.

Seperti biasa, jalanan menuju tempat tinggal Gina selalu sepi dan agak remang remang. Gina pun mulai bersenandung untuk mengusir kesunyian. Tidak buruk. Senandungnya terdengar lebih indah dari nyanyian yang biasa ia lakukan.

Tepat ketika Gina mulai memasuki belokan terakhir, ia mendadak terhenti dengan rasa kejut luar biasa. Di bawah cahaya lampu jalan yang berpendar pendar akibat korslet ataupun karena hal lainnya, seseorang mendadak muncul, meloncat keluar dari sisi jalan yang amat teramat gelap. Berdiri tepat di depan Gina, yang hanya terpisahkan dua atau tiga langkah. Penampilannya teramat aneh. Rambut acak-acakan, mantel hijau lumut kebesaran setinggi lutut, kaki telanjang serta seringai nakal yang terpatri di wajah.

Gina meneguk salifanya susah payah. Rasa-rasanya ada yang tidak beres. Dan tentu saja, belum usai keterkejutannya barusan kini pria itu kembali memberi Gina kejutan lain.

Prak

Dalam hitungan detik pria tadi membuka mantelnya dalam sekali hentakan. Kedua tangannya terentang menyibak mantel penuh percaya diri, memamerkan bagian tubuhnya yang terekspos tanpa balutan dan belang.

Gina sukses melongo dibuatnya. Katub bibirnya terbuka tatkala obsidiannya kini menangkap sesuatu yang menjuntai di antara kedua paha pria tadi.

Sial.

Apa-apaan ini?

Kirain di Indonesia saja ada yang kek gini. Dulu Gina juga pernah nemu pria gila yang seperti ini, memamerkan batang miliknya dengan wajah tertutup helm sambil duduk di atas motor agar mereka bisa dengan mudah kabur nantinya.

Ternyata di korea lebih parah lagi, lebih berani, lebih gila. Orang gilanya ngehampirin langsung di depan mata tanpa proteksi helm maupun motor.

Sungguh, hal seperti ini biasanya hanya Gina temui di drakor yang sering ditontonnya, tapi sekarang—Astaga, Gina tak percaya ini benar-benar terjadi padanya secara langsung.

Buru buru Gina memperbaiki raut wajahnya yang sempat terkejut tadi. Tidak, Gina tidak akan membiarkan pria itu melayang tinggi dengan senyum kebanggaannya itu. Gina akan buat perhitungan karena berani-berani muncul dan mengagetkannya. Gelak tawa pun Gina layangkan dalam sekejap mata, begitu nyaring di tengah sunyinya malam. Sontak membuat pria itu mengernyit bingung.

"Ahjussi igeneun mwoya?" tunjuk Gina pada benda menjuntai tadi. "Apa itu semcam tumor?" tawanya meremehkan, mengejek. (Apa itu?)

"Oh, tidak, tidak. Aku tau itu apa." Gina menggeleng kemudian tertawa lagi, perutnya ia pegang.

"Tapi, kenapa bentuknya begitu? Astaga, sudah dekil, bantet lagi," kekehnya melayangkan tatapan menilai pada benda menjuntai tadi. "Mirip kentang yang biasa kumasak saat bikin sup," sambungnya dipenuhi tawa mengejek. Tak ayal membuat Senyum kebanggaan pria itu seketika menghilang bak ditelan bumi.

Destiny With Bangtan (COMPLETED)Where stories live. Discover now