44

405 32 5
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.







Rido menjalani hari seperti biasanya. Sekolah, mengajar Libra, lalu pulang. Dia sebenarnya bosan. Ingin main dengan Neo dan Ari, namun keduanya sedang mempunyai acara sendiri. Rido memutuskan untuk belajar saja. Tadi dia juga sudah mengedit beberapa cerpen yang memang dia tulis sejak lama. Setelah diedit, dia mengirim tulisannya ke media cetak yang dia tuju.

Pukul 8 malam karena sudah mengantuk, Rido memutuskan untuk tidur saja. Dia merebahkan dirinya di atas kasur empuknya. Mencoba mengingat hal-hal yang membahagiakan dalam hidupnya lalu memejamkan matanya.

Mata yang baru memejam beberapa menit itu, kembali terbuka ketika merasa tarikan kuat pada tangannya.

"Bangun kamu! Dasar anak gak tau diuntung. Bisanya cuma bikin malu!!"

Rido yang merasa pusing karena dibangunkan secara tiba-tiba mencoba mencerna kejadian yang dialaminya. Mengapa ayahnya tiba-tiba menariknya?

"Kamu bisa gak sih gak buat ulah!!"

"Kenapa lagi sih, Yah!" Ujar Rido yang merasa tidak ada angin tidak ada hujan, namun tiba- tiba ayahnya marah kepadanya.

"Berani kamu ya!!" Ayahnya menarik rambutnya lalu dibenturkannya kepalanya ke arah tembok si samping mereka.

"Dugh .. dugh...dugh."

"Astagfirullah mass, kamu ngapain?!" Saras yang mendengar keributan dari arah kamar anak tirinya itu, lamgsung saja menghampiri. Namun, yang dilihat adalah suaminya yang sedang membenturkan kepala anaknya ke tembok.

"Kamu gak usah ikut campur Saras!!"

"Tapi kenapa Mass. Inget, bagaimanapun dia tetep anak kamu."

"Gakk dia bukan anak ku. Aku gak sudi punya anak kaya dia!!"

Rido yang mendengarkan perdebatan itu hanya memejamkan matanya. Mencoba meredakan pusing yang melanda.

"Sekarang kamu kembali ke kamar, aku mau urus anak ini!"

"Aku gak mau Mas!"

"Saras jangan me-"

"Ayah kenapa marahin Bunda?"

Tiba-tiba saja muncul Reva dengan muka kantuknya yang terbangun karena suara kedua orang tuanya.

"Bawa Reva ke kamar," ujar Tama pada Saras.

"Aku mohon jangan apa-apain Rido Mas. Pokoknya ka-"

"Saras!!"

Teriakan Tama mengundang tangisan Reva yang takut dengan ayahnya. Saras pun hanya bisa membawa Reva menjauhi kedua lelaki itu. Sekarang hanya tinggal Rido dan ayahnya saja.

"Sekarang kamu pergi dari rumah ini!!"

"Rido gak mau Yah. Salah Rido apa?!"

"Bukankah saya udah pernah bilang bahwa saya bukan ayah kamu? Kehadiranmu dari dulu tidak pernah saya harapkan. Kamu pikir saya mau mengurus seseorang yang bahkan bukan anak kandung saya? Kamu juga malu-maluin saya dengan kelakuan kamu. Kamu kan yang udah nyelakain Iben?"

"Bukan Rido Yahh."

Tama memegang tangan Rido dan menariknya untuk dibawa keluar rumah. Rido menangkap asistensi kakaknya yang berada di ruang tamu.

"Kak Argi tolongin Rido, Kak."

Ucapan Rido hanya dianggap angin lalu oleh sang kakak, yang bahkan tidak menoleh sama sekali ke arahnya.

"Kak tolongin Rido, Kak. Please, Yah Rido ga tau mau kemana," ujar Rido dengan lesu.

"Saya gak peduli. Jangan pernah balik lagi kesini!"

Rido dilempar ke arah depan pintu. Setelah itu, pintu ditutup dengan kencang. Rido tersenyum miris. Dia memang akan pergi dari rumah ini, tapi bukan sekarang. Rido tidak tau dia harus kemana.

Rido melangkahkan kakinya menjauhi rumah yang selama ini menjadi saksi tumbuh kembangnya. Mungkin memang ini yang terbaik.

Setelah melangkahkan kakinya cukup jauh dari rumah, Rido mendudukkan dirinya di bangku jalanan. Membuka hp, dia ingin menghubungi Neo dan Ari. Tetapi saat ingin memencet tombol memanggil, Rido bimbang. Dia tidak ingim merepotkan kedua temannya. Rido memilih untuk menghubungi Bryan saja. Dia mengirim pesan kepada kakaknya untuk bertemu dan langsung dibalas oleh abangnya.

Rido pun tersenyum. Ya, setidaknya dia masih memiliki Bryan walaupun ibunya tidak menginginkannya.



















Jangan lupa vote dan komen
Maaf apabila terdapat typo

SAHASIKAWhere stories live. Discover now