45

432 32 8
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.


Rido menunggu Bryan dengan memikirkan apa saja yang akan dikatakannya pada abangnya. Apakah dia harus berkata bahwa dia baru saja diusir karena mencelakai Iben?

Ngomong- ngomong tentang Iben, Rido benar- benar tidak tau mengenai apa yang terjadi. Rido baru sadar, kata ayahnya Iben sakit karena dirinya. Sekarang Rido merasa khawatir. Apakah abangnya juga akan menyalahinya karena semua pernyataan yang bahkan tidak diketahuinya?

Rido mencoba positif thinking. Dia melihat jalanan sembari menunggu abangnya. Ya, pasti Bryan akan percaya dengannya. Setidaknya itulah pikiran Rido saat ini.

Menunggu sekitar setengah jam, Rido bisa melihat sosok Bryan yang datang. Namun dia tidak sendiri. Ada Ibunya juga?

Rido menerka-nerka gerangan apa yang membuat ibunya datang. Apakah mereka sudah mendengar bahwa dia diusir oleh ayahnya? Apakah dia akan diajak tinggal bersama oleh ibunya?

"Bang ... Ibu ..."

Rido menyapa keduanya. Akan tetapi, mengapa raut wajah keduanya tidak menunjukkan binar kesenangan bertemu dengannya?

"Bang Rido diu-"

"Bugh."

Satu bogeman mendarat di wajahnya. Luka yang masih basah kembali merasakan sakit yang tidak disangka. Rido terdiam. Mengapa abangnya memukulnya.

"Lo apain Iben hahh ..."

"Bang gue gak apa-"

"Diam kamu. Dasar anak tidak tau diuntung. Saya menemuimu cuma mau bilang jangan ganggu keluarga saya."

Rido terdiam mendengar ucapan Ibunya.

"Gue bener-bener gak akan tinggal diem sampe Iben kenapa-napa. Awas aja lo! Ini peringatan ya buat lo. Ah dan satu lagi,jangan pernah manggil gue abang lagi!! Karena saat ini adek gue cuma Iben."

Setelah mengucapkan kata-kata itu mereka pergi. Rido dengan langkah tertatih mencoba mengejar mobil mereka. Namun naas, keduanya malah menambah kecepatan mobil. Membuat Rido sampai terjatuh dibuatnya.

Rido merasa bahwa dirinya terlalu naif berpikiran bahwa abangnya akan percaya padanya. Dirinya terlalu naif berpikir bahwa ibunya akan mengajaknya tinggal bersama. Rido sakit. Sangat sakit. Hatinya hancur. Semuanya hancur. Dimana dia harus berpulang. Tidak, dia tidak mau merepotkan Neo dan Ari. Dengan berbekal hp, Rido melangkahkan kakinya menjauh dari tempatnya tadi. Mencoba mengabaikan pandangan orang- orang kepadanya, yang berjalan dengan tertatih di hari yang semakin gelap. Rido ingin pergi dari sini. Hatinya benar-benar sangat sakit.









***



Rido tidak tau sudah berapa lama dia berjalan. Tadi dia sempat menjual hp nya. Sekarang Rido beradaa di sebuah masjid yang sudah jauh dari rumahnya. Rido menunaikan kewajibannya sebagai seorang yang beragama. Berdoa sekaligus mencurahkan semua isi hatinya kepada sang pencipta. Karena curhat yang paling tenang menurutnya adalah ketika hanya ada dia dan Tuhannya saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12, namun Rido masih tidak tahu kemana dia akan pergi. Dia tidak dekat dengan kerabat ayahnya maupun ibunya. Rido memutuskan untuk berjalan-jalan lagi.

"Woy."

Rido kaget ketika suara klakson motor dibunyikan oleh seseorang dibelakangnya. Walaupun jalan yang dilewatinya ramai, namun tetap saja Rido merasa takut berjalan sendirian tengah malam begini.

"Untung aja gue gak salah orang. Lagi ngapain cil disini? Mana sendirian lagi. Lo gak kesasarkan?"

Mario yang tadinya sedang membeli rokok di toko, langsung menghampiri Rido karena melihatnya sedang berjalan sendirian. Mario habis pulang nongkrong dengan teman- temannya.

"Gue gak papa kok."

"Terus itu muka kenapa bonyok-bonyok gitu dah. Lo gak berantem kan?"

"Engga," jawab Rido dengan lesu.

"Yuk gue anterin lo pulang. Gak baik anak kecil pulang sendirian malem-malem," ujar Mario dengan melihat ke arah boncengan motornya.

Rido hanya terdiam. Pulang? Memangnya pulang kemana?

"Kenapa diem aja sihh. Ayok gu-"

"Bruk."

















Jangan lupa vote dan komen
Maaf apabila terdapat typo
Maap lama gak update

SAHASIKADonde viven las historias. Descúbrelo ahora