51

488 30 3
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.



Rido nekat. Dia benar-benar nekat. Ayahnya sudah menelponnya beberapa kali. Membuatnya harus cepat. Ya, Rido sedang berada di ruang kerja ayahnya. Rido tidak mau melakukan ini, namun apa daya, dia sudah terlanjur sayang kepada keluarganya sekarang. Dia tidak mau melihat keluarganya terluka. Rido membawa sebuah dokumen persis seperti yang diperintahkan ayahnya.

"Cklek."

Rido tersentak kaget. Dia menoleh kebelakang dan melihat sosok Rendi.

"Rido? Kamu ngapain?" Tanya Rendi dengan raut marah, mengingat tidak semua orang diperbolehkan masuk ke ruang kerjanya. Baginya ruang kerjanya adalah privasi. Bahkan Mario saja jarang ke ruang kerjanya karena dia terkadang melarang.

"Emm papa ... ," sebelum Rido menjawab, ucapannya sudah dipotong oleh Rendi. Dokumen yang berada di tangannya direbut oleh Rendi.

"Ini kan dokumen perusahaan. Mau kamu apain hah!!"

Tangan Rido ditarik keluar lalu dihempaskan di ruang tamu.

"Papah apa-apaan!!!"

Karena suara gaduh dari ruang tamu, baik Bella maupun Mario pun menuju lantai dasar.

"Lihat ini Mario. Anak yang kamu bawa kesini ternyata pencurii!! Dia nyuri dokumen perusahaan papa."

"Papah jangan asal nuduh yaa!!" Balas Mario.

"Kamu tanya aja sama pencuri itu," balas Rendi yang sedang ditenangkan oleh Bella.

"Do, kamu gak nyuri kan? Apa yang diomongin papah salah kan Do?" Tanya Mario pada Rido yang masih menundukkan kepalanya."

"Liat kan, dia cuma diam."

Rendi memukul Rido dengan sesekali menendangnya. Bella dan Mario pun hanya diam. Bagi mereka perintah Rendi adalah hal yang mutlak.

Setelah puas memukuli Rido, Rendi menyuruh bodyguard nya untuk membawa Rido keluar dari rumah.

Sebelum pergi, Rido menolehkan kepalanya ke belakang dan yang dilihat Rido hanyalah raut kecewa keluarganya.

"Om, tante, makasih ya udah jadi sosok orang tua yang baik. Mario juga makasih banyak atas semuanya. Maafkan perilaku saya ya, om, tante," itu adalah kata-kata terakhir Rido sebelum tubuhnya ditarik dan dihempaskan ke dalam mobil. Mobil tersebut melaju ke daerah yang bahkan Rido tidak hapal. Dia diturunkan di pinggir jalan yang sepi.

Rido hanya menatap mobil yang mulai menjauh. Lagi dan lagi, Rido dibuang. Rido memutuskan untuk berjalan dan berjalan terus sampai dia menemukan daerah yang masih ramai walaupun malam sudah larut. Ya, Rido berada di pusat kota. Dia memasuki sebuah kamar mandi tempat perbelanjaan. Membersihkan mukanya agar tidak terlihat menyedihkan.

Rido memegang alat bantu dengar yang masih terpasang apik di telinganya. Dia keluar dari kamar mandi dan berjalan tanpa arah.




***



"Loh Raga kamu pulang nak?"

"Bukannya Papah sama mamah yang bilang Raga boleh pulang kalo anak Raga udah 16 tahun? Bukannya hari ini adalah waktunya. Terus sekarang dimana Aga, mah, pah?"

Yang ditanya hanya diam saja.

"Ah iyaa anakku di rumah kak Tama kan pah, mah?"

Raga langsung saja bersiap untuk pergi ke rumah sang kakak.

"Ayo, Mah, Pah anterin Raga ketemu anak Aga."

Yang diajak pun hanya bisa pasrah. Karena pada kenyataannya terlalu banyak hal yang tidak mereka ceritakan pada anak bungsu mereka.







"Halo keponakan om!! Kangen gak sama om?"

Argi yang mendengar suara adik dari ayahnya hanya menatap datar. Sudah lama sekali dia tidak pulang ke Indonesia.

"Dimana ayah kamu Argi?"

"Di ruang tamu om."

Argi mempersilahkan semuanya masuk. Melihat ekspresi opa dan omanya, sedikit membuatnya curiga.

Sekarang semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Pada akhirnya Tama menceritakan tentang perceraiannya dengan Risa dan pernikahannya dengan Saras. Raga yang mendengarnya pun hanya tersenyum. Selagi kakanya bahagia dia juga bahagia. Mengenai kondisi perusahaan Tama sebenarnya ayahnya pun sedang marah dengannya, namun tidak ada yang berani membahasnya.

Raga mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seperti sedang mencari-cari sesuatu. Dia benar-benar tidak sabar.

"Mas, Aga dimana ya?"

Pertanyaan itu membuat suasana seketika hening.

"Aga itu siapa, Yah?"

"Loh Gi, kok kamu malah gak tau Aga? Mas Aga dimana. Pah, Mah anak Raga dimana?"

"Agaa!! Agaa kamu dimana?" Raga berteriak. Namun yang didapat hanyalah hening.

"Bughh."

Raga memukul Tama. Selama ini dia sudah cukup untuk menebus kesalahan di masa lalunya. Dia bahkan rela tidak bertemu atau bahkan melihat perkembangan sang anak. Dia sudah menuruti perintah ayah dan ibunya untuk menetap di negara lain. Dia rela tidak pernah pulang atau bahkan berhubungan dengan anaknya selama 16 tahun. Dia percaya dengan keluarganya. Namun apa ini?? Apakah selama ini dia hanya dibohongi??

Raga berteriak, maraung-raung memanggil nama sang anak. Rasa rindu yang membuncah membuatnya terlalu senang bertemu dengan anaknya. Namun sayang, hal yang dia bayangkan tidak seindah itu. Dia bahkan hanya bisa melihat foto yang dikirim suruhan  papanya jika dia teramat rindu dengan anaknya. Dia menurut untuk tidak mencari tau barang sedikitpun tentang anaknya. Raga sungguh kecewa. Buah hatinya tidak ada. Semua keluarganya mempermainkannya. Hatinya teramat sakit.






















Jangan lupa vote dan komen yaaaa
Bentar lagi end

SAHASIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang