Bab 8

2K 367 15
                                    

Sophie tidak pernah merasa begitu tidak berdaya dalam hidupnya. Selama ini hidupnya memang tidak pernah mudah. Tapi sophie selalu punya jalan keluar untuk setiap masalah. Walaupun perutnya lapar dan bibinya menghukum tidak ada makanan, sophie bisa mengatasinya dengan merebus sisa jagung keras yang tidak terjual di lumbung pamannya.

Ketika satu-satunya gaun yang dia miliki robek, Sophie bisa menjahitnya. Ketika seseorang merundungnya, sophie tidak takut untuk membalas mereka. Bahkan ketika kedinginan di kandang kuda, Sophie selalu bisa menemukan kehangatan dari pelukan Dixie, kucing Orange gemuk yang bekerja mengusir tikus di lumbung milik pamannya.

Saat ini, betisnya yang biasa telanjang dibungkus dengan stoking tipis berwarna putih dari katun murni, bajunya yang terkena noda darah telah berganti dengan gaun yang lebih pantas—walaupun warnanya ungu, sophie benci warna ungu. Rambutnya dibasuh dengan air hangat dan dipercikkan minyak mawar untuk menghilangkan kusut.

Tubuhnya yang bisa dibilang hampir kurus menyentuh ranjang yang empuknya mengingatkan shopie dengan roti susu beraroma wangi yang dijual di sebelah toko Rhea.

Tapi Sophie tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa kemana-mana dan kamar mewah ini berbeda dengan kandang kuda pamannya. Tidak ada celah selain jendela-jendela besar berteralis baja dengan sepuhan perak. Sophie sudah mencoba mengintip, tidak bisa dibuka dan kalaupun bisa, sophie tahu kalau kamarnya berada di tempat tinggi.

Ketika sophie dan roran di bawa oleh utusan istana itu, Sophie tidak menyangka kalau mereka benar-benar akan di bawa ke istana. Sophie pikir,  mereka rakyat jelata dan seharusnya mereka diobati di rumah sakit. Selain itu jika mereka takut roran kabur, mereka bisa saja membawa mereka ke rumah sakit penjara.

Kejahatan macam apa yang membuat Roran sampai harus ditahan di istana Anatoille seperti ini? Ditambah lagi, Sophie bahkan harus ikut ditawan.

Sophie tidak punya pilihan lain selain berkeliling kamar mewah dan luas itu, memandangi lukisan dan menghitung satu persatu cat minyak yang retak pada bingkainya, atau berguling-guling di kasur.

"Haloooo! Apakah ada yang bisa mendengarku? Halooooooo"

Ah iya satu lagi,  Sophie bisa berbicara melalui lubang di bawah pintu yang sepertinya digunakan untuk tempat keluar masuk kucing. Atau anjing. Atau itu cuma dekorasi yang tidak terlalu berguna.

"Untuk yang kesekian kalinya, nona. Kami tidak boleh masuk ke kamar kakak anda," seseorang balas menyahut.

"Bisakah kau mengintip? Cari tahu apakah dia sudah sembuh?"

"Percayalah kalau dia berada di tangan yang tepat, dokter kerajaan sendiri yang mengobati kakakmu," kata suara orang itu lagi.

"Bisakah aku keluar kamar?"

"Kami diperintah untuk menjagamu tetap di dalam, miss,"

"Astaga ini tidak adil! Memangnya apa salahku? Apakah aku pernah mencuri sesuatu dari kalian?"

"Ini bukan penjara, nona,"

"Sama saja!"

Kemudian terdengar suara kaki mengentak kesal di lantai marmer dan menjauh.

"Hei! Halo! Ah sial dia pergi,"

Sophie hampir tertidur karena rasa bosan sebelum sebuah ketukan terdengar di pintu.

"Sophie, itu namamu?" Sebelum sophie menyahut, pintu itu dibuka dan seorang wanita cantik memasuki kamar. Rambutnya pirang kecokelatan, serta lurus disanggul. Dia memakai gaun berwarna putih gading yang tidak terlalu mengembang dengan bahu terbuka. Bibirnya tipis sempurna dengan sepuhan perona bibir berwarna merah muda.

Penciuman tajam sophie segera bisa menebak kalau wanita itu memakai wewangian mahal dengan kandungan ambergris ikan paus seharga nyaris 5000 krom per botol.

Sophie tidak mau berlebihan, tapi tidak akan ada yang protes seandainya perempuan itu mengaku sebagai bidadari.

"S-Sophia Rose Alderbranch," sophie tergagap. Otomatis dia merasa harus tunduk, siapapun wanita itu. Dia pasti cukup berkuasa, selain itu mereka sedang berada di istana.

"Aku Priscilla Emery, kau bisa memanggilku lady Emery," Dia membuka kipasnya dan mengebaskannya anggun sebelum duduk di hadapan Sophie.

"Baik,"

"Aku seorang marchioness, aku menebak kau mungkin tidak familiar dengan gelar bangsawan,"

"Ti-tidak," sophie sedikit mengernyitkan dahi. Tentu saja orang normal tidak terlalu peduli. Tapi dia sadar kalau posisi itu cukup penting.

"Hahh, banyak yang harus disiapkan, dipelajari dan disampaikan, tapi Sophia—boleh aku memanggilmu begitu? Hari ini aku berharap kau cukup layak untuk duduk satu meja dengan raja ketika waktu makan malam,"

"Makan malam dengan raja??" Sophie tidak merasa senang sama sekali. Dia hanya terkejut.

"Apakah kau bisa pakai sendok dan garpu?"

"Iya tapi,"

"Itu sudah cukup, yang mulia akan memakluminya," Lady emery menutup kipasnya dan melambaikannya ke arah pelayan yang berjaga di belakangnya.

Kemudian tidak lama, ada lusinan orang masuk ke kamar membawa meja, piring dan kereta dorong untuk sajian makanan. Sophie sempat mengintip, ada piring berisi barisan sandwich serta aneka ragam tart dengan taburan gula halus. Sophie tidak lapar, tapi entah kenapa perutnya berbunyi.

"Kita punya waktu tiga jam, aku akan mengajarimu,"

"Tunggu dulu! Aku tidak paham, kenapa aku harus makan malam dengan yang mulia raja?"

Lady emery tersenyum menanggapi.

"Ah aku mengerti, kau pasti kebingungan. Aku minta maaf, aku terdesak waktu jadi sedikit kurang peka. Intinya, sophia aku adalah guru etiketmu. Aku akan mengajarimu bagaimana cara menjadi seorang bangsawan yang baik. Kau, Sophia akan tinggal di istana ini. Jadi, semoga kita bisa akur,"

###

Aku coba usahakan nulis ini dua kali seminggu  ya. Makasih buat kalian yang support cerita ini dengan like dan komen 🥰

Taming The Villain DukeWhere stories live. Discover now